Saturday, 10 January 2015

PONDOK PESANTREN KEDUNGLO KEDIRI – JAWA TIMUR DAN SHALAWAT WAHIDIYAH (Part. 2)

oleh : Muhammad Arif

Lanjutan dari Part. 1. Berdirinya Ponpes. Kedunglo Kediri Jawa Timur


4.    Kisah sekilas, KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs. wa Ra.

Di Pondok Pesantren Kedunglo Kediri Jawa Timur, pada hari Jum’at Wage (hari pasaran Jawa) malam 29 Ramadhan 1337 H bertepatan dengan 28 Oktober 1918, lahirlah seorang bayi putra ketujuh dari sembilan bersaudara yang lahir dari pasangan Syech Muhammad Ma’ruf, Ra. pendiri Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhdhoroh dengan Ibu Nyai Hasanah, putri K. Soleh, Banjar Mlati Kediri.

Sebagaimana banyak diketahui, bahwa bayi tersebut setelah dewasa menjadi tokoh besar pembaharuan umat yang membawa banyak perubahan pada akhlak dan mental umat manusia terutama bab keimanan dan ketauhidan kepada Allah SWT. Oleh sang ayah bayi tersebut diberi nama Abdul Madjid.

a.    Masa Kecil Gus Madjid, Qs. Ra.

Ketika masih berusia 2 tahun Agus Abdul Madjid dibawa oleh kedua orang tuanya pergi haji ke Makkah Al-Mukarromah. Ketika di Makkah, setiap memasuki jam 12 malam KH. Muhammad Ma'ruf menggendong Gus Madjid ke Baitullah dibawah atap Emas, disana KH. Muhammad Ma'ruf berdo’a agar bayi yang berada dalam gendongannya kelak menjadi orang besar yang shaleh (putih -penulis) hatinya, begitu juga halnya ditempat-tempat mustajabah lainnya, KH. Muhammad Ma'ruf selalu mendo’akan Gus Madjid agar menjadi orang yang shaleh.

Ketika Gus Madjid di ajak oleh KH. Muhammad Ma'ruf ke salah seorang Ulama Makkah, ulama tersebut tertarik pada Gus Madjid dan akan mengangkatnya sebagai anak. Mendengar permintaan tersebut, sang ayah, KH. Muhammad Ma'ruf menyetujuinya, namun setelah menyampaikan hal tersebut kepada ibu Nyai Hasanah, beliau keberatan sehingga Gus madjid tetap berada dalam asuhan kedua orang tuanya. 

Kejadian tersebut akhirnya memunculkan sebuah ungkapan , “Kalau bukan karena KH. Abdul Madjid Ma'roef maka Sholawat Wahidiyah tidak akan lahir dan kalau bukan karena ibu Nyai hasanah, Sholawat wahidiyah tidak akan lahir di bumi Indonesia, khususnya di bumi Kedunglo Kediri”. 

b.    Masa Muda dan Masa Belajar KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs. Ra.

Memasuki usia sekolah, Gus Madjid sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, namun hanya sampai kelas 2, selanjutnya, ayahnya KH. Muhammad Ma'ruf mengantarkannya mondok di Jamsaren Solo Jawa Tengah pada Syech Abu Ammar.

Genap 7 hari di Jamsaren, Gus Madjid di panggil gurunya dan berkata, “Sudah Gus, panjenengan pulang saja ke Kedunglo”. Gus Madjid menaati perintah gurunya K. Abu Ammar, dengan pikiran penuh tanda Tanya, “ kenapa diperintahkan pulang”, kemudian beliau pun pulang dan dititipi surat agar disampaikan kepada ayahnya.
Setibanya dirumah, ternyata ayahnya, belum pulang,  sementara yang diantarkan sudah sampai dirumah.

Terdorong oleh jiwa muda Gus Madjid haus akan ilmu pengetahuan, kemudian dia diantarkan oleh ayahnya mondok di Mojosari Loceret Nganjuk Jawa Timur yang diasuh oleh K. Zainuddin. Dipondok inipun, setelah tujuh hari beliau dipanggil gurunya, dan mengatakan, “Gus, kamu sudah cukup, tidak usah mondok, pulang saja dirumah “. Gus Madjid pun akhirnya kembali ke Kedunglo dan matur  (bicara-pen) kepada ayahnya, bahwa gurunya tidak bersedia memberi pelajaran. Akhirnya KH. Muhammad Ma'ruf berkata : “Ya sudah, kalau begitu, kamu saya ajari sendiri, satu bulan nilainya sama dengan 1000 bulan”. ujar Syech Ma’ruf. 

Maka setelah itu, gurunya adalah ayahnya sendiri, KH. Muhammad Ma'ruf Ra. yang mewarisi ilmunya K. Cholil Bangkalan Madura Jawa Timur. Beliau diajari beraneka macam ilmu, yang diajarkan di pondok-pondok pesantren maupun ilmu yang tidak diajarkan di pondok pesantren. Maka tak heran kalau pada akhirnya Gus Madjid tumbuh sebagai pemuda yang alim dan wara’. Ibarat padi, semakin berisi, semakin merunduk. Semakin tinggi ilmunya, beliau semakin tawadu’ dan pendiam, sehingga siapapun tidak pernah menyangka, kalau dibalik pendiamnya tersimpan segudang ilmu pengetahuan dan sejuta keistimewaan, tapi beliau tidak pernah, menampakkan keistimewaannya maupun karomah-karomahnya kepada sesama.

c.    Masa Menikah

Ketika Gus Madjid berusia 27 tahun dan hampir menguasai keseluruhan ilmu ayahnya, beliaupun semakin nampak dewasa dan matang. Maka tidak aneh, kalau banyak gadis yang mengidamkannya, karena beliau disamping dikenal sebagai putra Syech Ma’ruf yang ampuh, masyhur dan makbul do’anya, Gus Madjid juga seorang sosok pemuda yang alim berwajah tampan nan rupawan bagai rembulan  serta berhati putih.

Dari sekian gadis yang mendambakan dipersuntingnya, akhirnya dipilihlah seorang putri bernama, Sofiyah Binti Syech Muhammad Hamzah, dari Mangunsari, Tulungagung Jawa Timur. Dari pernikahan ini, mereka mempunyai sepuluh orang putra dan putri, mereka adalah : Dra. Nurul Ismah, Dra. Tatik Faricha, KH. Abdul Latif Madjid (Pengasuh Ponpes. Kedunglo), Dra. Jauharotul Maknunah, KH. Abdul Hamid Madjid, Istiqomah, Tutik Indiyah, SE., H. Agus Syafik, Husnatun Nihayah, Ina.

KH. Abdul Madjid Ma'roef juga menikah dengan seorang wanita dari Kepanjen, Malang yang bernama Suwati (Alm). Dari perikahan ini mereka dikaruniai dua orang putra, yaitu : Agus Ali Irfan dan Agus Nafa’, keduanya meninggal ketika masih kecil.

d.    Kepribadian KH. Abdul Madjid Ma'roef QS. RA.

Gus Madjid, mempunyai kepribadian yang sangat santun, mempesona, berhati putih, suci dan berwibawa, menurut penuturan, orang-orang yang hidup sezaman dengan beliau, mengatakan bahwa, akhlak Gus Madjid, adalah diakhlaki dengan Rasulallah SAW.

Jika bicara tenang dan santai, disertai senyum ramah dan sering melontarkan kalimat-kalimat canda yang membuat beliau dan tamunya tertawa. Beliau berbicara dengan kalam, artinya kata yang dituturkannya mengandung makna yang dalam karena beliau mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan ringkas dan padat, bila mengucapkan kata-kata, sangat jelas, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki, beliau sangat memperhatikan dengan sungguh, kepada orang yang berbicara dengannya. Beliau juga dikenal sangat dermawan, tak jarang tamu yang sowan dan nampak tidak punya ongkos buat pulang, tamu tersebut diberi bekal secukupnya, pernah juga memberi belanja kepada seorang pengamal yang tidak punya penghasilan, adapula seorang pengamal yang ingin tahu keramat beliau, maka ketika si tamu pamit pulang, Syech Madjid memberikan jubahnya, kepada si tamu.

Beliau sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian badannya. Baju yang telah dipakainya sekali, tidak dipakai lagi, sehingga tak heran kalau beliau sering mencuci pakaiannya sendiri, bahkan juga menguran jedingnya sendiri. Dalam amsalah ini, beliau pernah mengungkapkan rumahnya itu hendaknya suci seperti masjid dan bersih seperti rumah sakit. 

Bila marah, beliau Cuma diam, hanya roman mukanya sedikit berubah, kalau beliau mau bicara, pertanda bahwa marahnya sudah hilang dan seperti tidak pernah terjadi apa-apa. 

e.    Kehidupan Rumah Tangga

Syech Abdul Madjid, QS. RA. memiliki rumah  tangga yang sangat islami dan harmonis, hampir tidak pernah terjadi perselisihan dan pertengkaran, kalaupunm ada kesalahan yang telah dilakukan, masing-masing sibuk mengoreksi kesalahannya sendiri, sebagai suami, beliau sosok suami yang romantis, amat setia mencintai dan menyayangi istri sepenuh hati. Kalau beliau berjalan berdua dengan bu Nyai. Di gandengnya tangannya Bu Nyai, dan kemana-mana selalu berdua.

Dalam kehidupan sehari-hari, Syech Madjid sebagaimana yang dituturkan Nyai Hj. Shofiyah, beliau sebagaimana manusia biasa, yang mencuci baju sendiri, dan mencucikan baju Mbah Nyahi atau baju putra-putrinya.

f.    Kepemimpinan di Ponpes. Kedunglo

Selama KH. Abdul Madjid Ma'roef memimpin Pondok Pesantren Kedunglo, santri di pondok ini pun bertambah, tidak dibatasi seperti pada masa KH. Mohammad Ma'roef. Didepan masjid dibangun serambi, dan didepan serambi masjid agak keselatan dibangun sebuah pondokan untuk santri.

Pada masa KH. Abdul Madjid Ma'roef inilah pendidikan di Pondok Pesantren Kedunglo semakin berkembang. Dengan motto pendidikan “Mencetak Wali Yang Intelek dan Intelek yang Wali” sang pengasuh pondok mendirikan madrasah diniyah (yang dulunya tidak ada), SMP dan SMA. Hal ini dimaksudkan unuk membina santri tidak hanya mengerti ilmu agama, namun juga bidang ilmu yang lain (ilmu umum) yang tentunya didasari hati senantiasa taqarrub ilalloh wa Rasulihi Saw.

Setelah + 34 tahun memimpin pondok dan + 26 tahun membina umat mayarakat untuk kembali sadar kepada Allah wa Rasulihi saw., pada hari selasa tanggal 7 maret 1989 / 1410 H ( + seminggu setelah mujahadah kubro rajab 1410 H) KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra. wafat diusia 71 tahun Masehi / 73 tahun Hijriyah. Sepeninggal KH. Abdul Madjid Ma'roef, Pondok Pesantren Kedunglo serta Perjuangan Wahidiyah yang mengangkat umat masyarakat dari jalan kesesatan dalam kesadaran kepada Allah wa Rasulihi saw menuju umat yang berkesadaran kepada Allah wa Rasulihi saw dengan jalan mengamalkan shalawat wahidiyah kemudian dipimpin oleh putra beliau, yaitu KH. Abdul Latif Madjid Ra.
KH. Abdul Latif  Madjid adalah putra ketiga KH. Abdul Madjid Ma'roef dan Hj. Shofiyah dari sepuluh bersaudara. 

5.    PP. Kedunglo Melahirkan Shalawat Wahidiyah

Shalawat wahidiyah adalah rangkaian do’a shalawat dan dilengkapi tatacara pengamalannya serta ajaran-ajarannya yang berfaidah menjernihkan hati dan KH. Muhammad Ma'ruf’rifat billah yang bertujuan mengajak umat masyarakat sadar kepada Allah swt. wa rasulihi saw.

KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra. pada tahun 1959 mendapat suatu pentunjuk dari Allah swt. dalam keadaan jaga, bukan mimpi, yang isinya supaya ikut memperbaiki kerusakan mental masyarakat yang telah terjadi sejak lama, mengangkat umat masyarakat dari tempat yang hina dihadapan Allah menjadi hamba yang berbudi dan bertakwa. Membangun atau memperbaiki mental masyarakat, khusunya mental kesadaran kepada Allah wa Rasulihi saw. khusunya lewat jalan bathiniyah. Petunjuk ini diperolehnya dalam keadaan sadar dan terjaga, bukan mimpi.

Setelah menerima petunjuk yang berupa perintah tersebut, KH. Abdul Madjid Ma'roef sangat prihatin sekali. Kemudian ia memperbanyak riyadlohnya, memusatkan kekuatan bathin untuk bermunajat kepada Allah swt. (bermujahadah istilah wahidiyah), memohon  kesejahteraan bagi umat dan masyarakat, terutama perbaikan mental. Do’a-do’a atau amalan yang diamalkan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef saat melakukan riyadlohnya adalah memperbanyak membaca do’a shalawat kepada nabi saw. selain do’a-do’a lain yang diamalkannya (tetapi kuantitasnya dibawah dia membaca do’a shalawat).

Bisa dikatakan bahwa hampir do’a shalawat diamalkan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef, demi memenuhi maksud dari petunjuk yang berupa perintah tersebut. Bahkan tidak ada waktu yang terbuang tanpa diisi dengan membaca shalawat. Diantara do’a shalawat yang sering diamalkan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef diantaranya : shalawat Badawi, shalawat Nariyah, shalawat Mahsyisyiyah, shalawat Munjiyat.

KH. Abdul Madjid Ma'roef lebih cenderung mengamalkan shalawat karena dikandung maksud bahwa manfaat membaca shalawat itu adalah memberikan ketentraman hati, ketenangan batin dan pasti diterima oleh Allah swt.

Jika dia bepergian dengan naik sepada angin, tangan kiri memegang setir dan tangan kanan dimasukkan saku sambil memutar tasbih. Shalawat Nariyah sudah sering dihatamkan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef dengan jumlah bacaan 4.444 sekali majlis.
Dengan penuh ketekunan dan prihatin yang mendalam akan keadaan umat, kiyai kharismatik ini tak henti-hentinya melakukan mujahadah, bermunajat kepada Allah dengan riyadhoh dan tirakatnya, seperti melaksanakan puasa sunah dan lain sebagainya. Tidak seorangpun dari keluarganya yang mengetahui bahwa ia sedang melaksanakan suatu tugas dari Allah yang sangat berat.

Pada awal tahun 1963, KH. Abdul Madjid Ma'roef menerima petunjuk yang kedua yang isinya sama seperti yang pertama, th. 1959, namun bersifat peringatan dari petunjuk yang pertama yaitu supaya cepat-cepat ikut berusaha memperbaiki mental masyarakat melalui jalan batiniyah. Maka dia pun lantas lebih meningkatkan munajatnya kepada Allah swt. serta meningkatkan riyadhahnya. Sampai-sampai kondisi fisiknya sering kali terganggu.
Namun demikian, kondisi bathiniyah KH. Abdul Madjid Ma'roef tidak pernah terpengaruh oleh kondisi jasmaninya itu, terus senantiasa bermunajat kepada Allah swt. memohonkan perbaikan mental dan akhlak bagi umat masyarakat.

 Pada pertengahan tahun 1963, KH. Abdul Madjid Ma'roef memperoleh petunjuk yang ketiga yang sifatnya lebih keras dari yang kedua. Bahkan dia diancam apabila tidak cepat-cepat menolong umat masyarakat, maka akan terjadi kerusakan mental di masyarakat terutama dalam hal kesadaran kepada Allah yang semakin parah. “malah kulo dipun ancam menawi mboten enggal-enggal berbuat dengan tegas, aking kerasipun peringatan ancaman, kulo ngantos gemetar sedoyo badan kulo meniko”. (Malah saya diancam kalau tidak berbuat dengan tegas, karena kerasnya peringatan dan ancaman, samapai gemetar semua badan saya sesudah itu).

Setelah menerima petunjuk yang bersifat perintah yang ketiga ini, diapun lebih prihatin dan lebih meningkatkan lagi munajatnya kepada Allah swt.

Dalam suasana hati senantiasa mengarah kepada Allah swt. wa Rasulihi saw. kemudian KH. Abdul Madjid Ma'roef menulis sebuah do’a shalawat. “kulo ndamel oret-oretan”. (saya membuat coret-coretan) katanya, maka tersusunlah shalawat ma’rifat “Allahumma kama anta ahluh ….dst. tetapi belum sempurna seperti sekarang ini.

“Sak derengipun kula inggih mboten angen-angen bade nyusun shalawat, malah anggen kula ndamel namung kalian nggeloso”. (sebelumnya saya tidak ada angan-angan untuk menyusun shalawat, malah dalam saya menyusun itu sambil tiduran). Jelas KH. Abdul Madjid Ma'roef.

Kemudian shalawat Allahumma kamaa anta ahluh …. dst. yang baru lahir dari bathiniyah yang bergetar dengan frekuensi tinggi kepada Allah swt.wa rasulihi saw. diuji cobakan kepada tiga orang santri beliau, yakni Bp. Abdul Jalil (Alm.) dari Desa Jamsaren Kota Kediri, Bp. Mukhtar dari Ds. Bandar Kidul Kediri, dan Dahlan santri dari Demak (waktu masih remaja).

Setelah mencoba mengamalkan shalawat yang baru dita’lif tersebut, ketiga santri tersebut melaporkan bahwa dikarunia rasa tenteram dalam hati, tidak ngongso-ngongso dan lebih banyak ingat kepada Allah swt. selanjutnya dicoba lagi, beberapa santri disuruh untuk mengamalkannya, dan hasilnya tidak jauh beda dengan yang dialami dengan ketiga orang yang pertama. Kemudian shalawat ini dinamakan shalawat ma’rifat yag dalam lembaran shalawat wahidiyah berada pada urutan kedua.

Beberapa waktu kemudian lahirlah kembali dari jiwa yang senantiasa hudhur kepada sang khaliq, yaitu shalawat “Allahhumma yaa waahidu yaa ahad … dst.” yang kemudian dikenal dengan sebutan shalawat wahidiyah / shalawat tauhid. Shalawat inipun diuji cobakan kepada beberapa santri untuk diamalkan, dan hasilnya lebih positif lagi, yaitu hati dikaruniai Allah swt. ketenangan batin yang lebih mantab. Shalawat ini pada lembaran shalawat wahidiyah berada pada urutan / susunan yang pertama.

Berturut-turut santri Ponpes. Kedunglo Al Munadzdzarah banyak yang mengamalkannya, kemudian kedua shalawat ini diijazahkan oleh mu’alifnya secara umum, boleh diamalkan oleh siapa saja.

Para tamu yang berziarah kepada KH. Abdul Madjid Ma'roef diberi ijazah untuk mengamalkan shalawat ini. Disamping itu dia menyuruh beberapa santri untuk menulis shalawat ini yang selanjutnya tulisan itu dikirim kepada para ulama / kyai. Dari beberapa ulama / kyai yang diberi amalah shalawat tersebut dan mau mengamalkan melaporkan bahwa hasilnya sangat positif, hati semakin dekat kepada Allah swt. wa rasulihi saw.
Dari hari kehari makin banyak orang yag datang utnk meminta diberi ijazah shalawat tersebut. Ijazah mengamalkan yang beliau berikan adalah mutlak, artinya selain boleh diamalkan oleh orang yang diberi ijazah secara langsung juga supaya disampaikan kepada orang lain.

Di Ponpes. Kedunglo Al Munadzdzarah kemudian dibuka pengajian kitab al hikam, karangan Syech Ibn Ath Tho’illah, yang langsung diasuh oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef yang dilaksanakan setiap malam jum’at. Namun karena peserta pengajian banyak dari kalangan pekerja kantor/PNS yang harus bekerja selama enam hari seminggu, mereka merasa berat jika harus ikut ngaji malam hari dan siangnya harus masuk kerja. Maka mereka usul agar waktu pengajian diganti hari ahad pagi, hari libur nasional, dan usulan tersebut diterima oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef. Maka sampai sekarang kegiatan pengajian kitan al hikam dilaksanakan pada hari ahad pagi.
Kegiatan pengajian kitab al hikam didahului dengan jama’ah shalat tasbih dan mujahadah (pengamalan) shalawat wahidiyah. Adapun keterangan KH. Abdul Madjid Ma'roef dalam pengajian kitab al hikam dipadukan dengan kuliah wahidiyah.

Masalah-masalah pokok dan prinsip dalam kehidupan manusia didapatkan dari pengajian tersebut yang meliputi bidang akhlaq, tauhid, adab, kemasyarakatan, dsb. Diuraikan dengan contoh-contoh yang mudah difahami, sehingga mudah diterapkan oleh peserta pengajian.

Dalam pengajian tersebut kemudian lahirlah rumusan ajaran wahidiyah. Ketika KH. Abdul Madjid Ma'roef menerangkan bab tauhid, lahirlah ajaran “lillah billah”, dan saat menerangkan bab hakikat wujud, pengertian dan penerapannya lahirnya ajaran “Bihaqiqotil Muhammadiyah” yang kemudian disempurnakan dengan penerapan lirrosul birrosul, dan lahir pula shalawat yang ketiga, yaitu “Yaa syaafi’al khalqish shalaatu wassalaamu ….dst”. yang kemudian dinamakan shalawat saljul qulub, karena efek dari mengamalkan shalawat ini hati menjadi tenang, dingin, tidak mudah tersinggung, amarah dapat terkendali, dan hati senantiasa terhubung dengan rasulullah saw. kemudian shalawat ini dirangkai menjadi satu dengan shalawat ma'rifat dan shalawat wahidiyah/tauhid dengan didahului bacaan surat fatihah yang ditujukan kepada rasulullah saw. dan ghautsu hadzaz zaman ra.

Rangkaian do’a shalawat termasuk bacaan surat fatihah tersebut kemudian disebut “SHALAWAT WAHIDIYAH”.
Nama wahidiyah diambil dari salah satu asmaul a’dham yang terdapat didalam shlawat tauhid/ wahidiyah, Allahumma yaa waahidu … dst. Yaitu “Waahidu” yang artinya satu. Satu yang tiada terpisah-pisah, mutlak satu, aslan wa abadan. Satu tidak seperti satunya makhluk.

Pada akhir tahun 1963 diadakan pertemuan tokoh ulama yang sudah mengamalkan shalawat wahidiyah. Mereka dari Kediri, Tulungagung, Blitar, Jombang, dan Mojokerto yang bertempat di mushalla KH. Abdul Jalil (alm) Jamsaren, Kediri. Pertemuan tersebut dipimpin langsung oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef.

Diantara hasil pertemuan tersebut adalah tersusunnya redaksi yang tetulis dalam lembaran shalawat wahdiyah sebagai petunjuk tata cara pengamalan shalawat wahidiyah termasuk kata-kata jaminan atau garansi yang diusulkan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef sendiri.

Pada tahun 1964, menjelang peringatan ulang tahun lahirnya shalawat wahidiyah yang pertama, seorang pengamal wahdiiyah dari surabaya, KH. Machfudh dari Ampel Surabaya, dibantu beberapa temannya mengusahakan klise shalawat wahidiyah yang pertama dan mencetak lembaran shalawat wahidiyah sebanyak 12.500 lembar di kertas HVS putih atas biaya (alm) Hj. Nur AGN dari Surabaya.

Sesudah peringatan ulang tahun lahirnya Sholawat Wahidiyah yang pertama diadakan asrama (diklat) Wahidiyah di Pondok Pesantren Kedunglo dan diikuti oleh para tokoh ulama/kyai yang sudah menerima Sholawat Wahidiyah dari daerah Kediri, Madiun, Tulungagung, Blitar, Malang, Mojokerto, Jombang dan Surabaya.
Asrama (diklat) tersebut diadakan selama 7 hari 7 malam, materi diklat langsung diberikan oleh KH. Abdul Madjid, RA. Muallif Sholawat Wahidiyah.

Kalimah nida’ “Yaa Sayyidii Yaa rasulallah” lahir ketika Asrama (diklat) tersebut dilaksanakan. Sebagai pelengkapan untuk penyempurnaan dan peningkatan amalan Sholawat Wahidiyah yang sudah ada di dalam lembaran Sholawat Wahidiyah kemudian ditambahkan kalimah nida’ tersebut.

Pada awal tahun 1965, ketika KH. Abdul Madjid Ma'roef menerangkan hal Ghoutsu Hadzaz zaman Ra. didalam kuliah beliau dalam Asrama (diklat) Wahidiyah yang ke-2 lahirlah kalimat istighausah “Yaa Ayyuhal Ghautsu Salamullah...”dst. Istighosah ini tidak langsung dicantumkan kedalam rangkaian shalawat Wahidiyah dalam lembaran yang di edarkan kepada masyarakat tetapi hanya di anjurkan banyak diamalkan oleh mereka yang sudah agak lama mengamalkan Shalawat Wahidiyah terutama dalam mujahadah-mujahadah khusus.

Hal tersebut merupakan suatu kebijaksanaan yang mengandung berbagai macam hikmah dan sirri-sirri yang kita tidak mampu menguraikannya.
Sehingga dalam masa-masa sesudah tahun 1965 dalam beberapa waktu lamanya, lembaran Shalawat Wahidiyah yang diedarkan kepada masyarakat hanya sampai pada Yaa Sayyidi Yaa Rasulallah.

Perhatian masyarakat makin hari terus bertambah terhadap amalan Shalawat Wahidiyah. Permintaan–permintan Shalawat Wahidiyah makin bertambah, meskipun disana-sini ada sebagin masyarakat yang tidak mau menerimanya, kontra akan keberadaan shalawat wahidiyah.

Kekontrasan mereka ternyata dikemudian hari merupakan hikmah yang membawa saluran tarbiyah bagi peningkatan kesadaran kepada Allah wa Rasulihi SAW.
Diantara tanggapan muallif shalawat wahidiyah, KH. Abdul Madjid Ma'roef, tentang pengontrasan wahidiyah yang terjadi di daerah. ada suatu kisah seorang pengamal dari suatu daerah melaporkan kepada beliau bahwa didaerahnya terjadi pengontrasan yang sangat agresif.

Dengan ramah dan senyuman Muallif Sholawat Wahidiyah memberikan jawaban “mestinipun kita kedah maturnuwun dumateng pengontras, jalaran kita lajeng mindak mempeng anggen kito mujahadah” (Mestinya kita harus berterima kasih kepada pengontras sebab kita menjadi meningkat didalam mujahadah).

Pada mujahadah kubro  pada tahun 1970, Muallif shalawat wahidiyah dalam kuliyah wahidiyah umum memberikan pandangan perjuangan wahidiyah terhadap adanya pengontras, bahwa sesungguhnya pengontras Wahidiyah besar sekali jasanya terhadap wahidiyah, mereka itu adalah kawan setia dalam Perjuangan Wahidiyah yang harus kita syukuri.

Pada sekitar awal tahun 1968 mulai dimasukkannya kalimat istighautsah kedalam rangkaian do’a Shalawat Wahidiyah  dan  disebarluaskan  kepada masyarakat.
Pada tahun 1971 menjelang diadakannya pemilihan umum di negara Republik Indonesia maka lahirlah  shalawat “Yaa Syaafi’al Khalqi habiballah .... dst.” yang disebut shalawat perjuangan. 

Demikian berturut-berturut dari hari-kehari shalawat wahidiyah semakin sempurna seirama dengan peningkatan ajaran Wahidiyah yang diberikan oleh mualifnya, yang sesuai dengan kebutuhan situasi serta kondisi didalam masyarakat baik di dalam negeri maupun luar negeri. 

Pada tahun 1972 shalawat wahidiyah dilengkapi dengan do’a “Allahumma baarik fii maa kholaqta wahaazihil baldah” yang mempunyai tujuan mendoakan negara agar senantiasa mendapat barokah Allah swt.

Pada tahun 1973,  do’a nida’ “Allahumma bihaqis mi kal a’dham....dst”. dan Fafirruu Ilallah serta “waqul jaal haqqu...dst”. juga ditambah dengn nida’ “fafirru ilallah” dengan berdiri menghadap 4 penjuru di ajarkan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef sebagai kelengkapan do’a shalawat wahdidiyah.

Kalimah nida’ fafirru Ilalah dalam beberapa masa tidak dicantumkan dalam rangkaian pengamalan Shalawat Wahidiyah tetapi dibaca bersama-sama oleh imam dan makmun pada akhir tiap-tiap do’a, begitu juga kalimah “wa qul jaal …dst.”, juga belum dijadikan rangkaian dengan “fafirruu ilallah” seperti sekarang ini.

Pada tahun 1978 dilengkapi dengan do’a, “Allah humma baarik fii hadzihil mujahadah yaa Allah”.

Pada tahun 1980, bacaan “watarzuqona tamama maghfiratika” pada shalawat ma’rifat disempurnakan dengan ditambah “Yaa Allah”. Demikian juga watamama nikmatika dan seterusnya sampai dengan “wa tamama ridlwanika” ditambah dengan “Yaa Allah”.

Pada tahun 1981, do’a “Allohumma baarik fii maa kholaqta wahadzhil  baldah”, ditambah “yaa Allah”. 

Dan doa’ “Allohumma baarik fii hadzihil mujahadah yaa Allah” menjadi “wafi hadzihil mujahadah yaa Allah” sehingga menjadi rangkaian do’a “Allohumma barik fii maa kholaqta wa hadzihil baldah ya Allah wa fi hadzihil mujahadah yaa Allah”.

Pada tahun pada tanggal 27 Jumadil akhir 1401 H atau 2 Mei 1981 lembaran Sholawat Wahidiyah yang ditulis dengan huruf Al-Qur’an diperbaharui dan disempurnakan sehingga seperti yang dapat kita lihat sampai sekarang ini.

Demikian secara kronologis lahirnya Sholawat Wahidiyah yang bertujuan mengajak umat masyarakat sadar kembali kepada Allah wa Rasulihi saw. serta berfaidah menjernihkan hati dan ma’rifat billah wa Rasulihi saw. mengalami penyempurnaan disetiap periode. 

Semua periode tersebut memiliki rahasia-rahasia (sirri-srri) yang kita sekalian tidak mampu untuk menguraikannya, hanya kadang-kadang ada beberapa pengamal yang ditunjukkan secara bathiniyah sirri-sirrinya, yang jelas penyempurnaan seluruh rangkaian pengamalan shalawat wahidiyah seirama dengan ajaran wahidiyah yang di bimbingkan oleh mualifnya kepada para pengamal wahidiyah yang sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi  didalam masyarakat baik didalam negeri maupun luar negeri.

Semoga Allah SWT memberikan barokah terhadap shalawat wahidiyah dan memberikan balasan yang sebanyak-banyaknya kepada muallifnya, hadrotul mukarram KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra. Min yaumina hadza ila yaumil qiyamah. Amin. 

selanjutnya :
MASA PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN KEDUNGLO AL MUNADHDHARAH KEDIRI JAWA TIMUR

No comments:

Post a Comment