Oleh : Muhammad Arif
BERDIRINYA PONDOK PESANTREN
KEDUNGLO AL MUNADHDHARAH - KEDIRI
Letak Geografis
Pondok pesantren Kedunglo al Munadhdhoroh terletak di Desa Bandar Lor
Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur. Desa Bandar Lor berada di
pinggiran sungai brantas sebelah barat dan berada + 1 km dari pusat kota
Kediri.
Sesuai dengan data monografi desa Bandar Lor pda tahun 2002, luas desa
ini + 111,35 Ha dengan perincian sebagai berikut : pemukiman atau
perumahan seluas + 87,50 Ha, sawah dan ladang 9 Ha, jalan seluas 4,5 Ha,
jalur hijau seluas 2 Ha, pemakaman seluas 1,5 Ha dan lain-lain 1,3 Ha.
Adapun batas-batas desa Bandar Lor yang menjadi letak Pondok pesantren Kedunglo al Munadhdhoroh adalah :
1. Sebelah utara desa Mojoroto
2. Sebelah barat desa Lirboyo
3. Sebelah selatan desa Bandar Kidul
4. Sebelah Timur sungai brantas
Pada tahun 2002 jumlah penduduk desa Bandar Lor berjumlah 8.593 jiwa dengan rincian sebagai berikut :
1. Penduduk laki-laki berjumlah 4.074 orang dengan rincian 4.073 WNI dan 1 WNA
2. Penduduk perempuan berjumlah 4.519 orang dengan rincian 4.516 WNI dan 3 WNA
Mereka menyebar di 39 RT dan 8 RW, Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah berada di RT. 17 RW.03.
Sejarah Berdirinya Pondok
1. Latar Belakang Berdirinya Pondok
Pada akhir tahun 1800-an hingga tahun 1900 banyak oran g islam indonesia
mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan
kekuatan-kekuatan yang menantang islam yaitu dari pihak kolonialisme
Belanda, penetrasi kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian
lain di Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara
tradisional dalam menegakkan islam mereka mulai menyadari perlunya
perubahan-perubahan .
Salah seorang yang menyadari perlunya perubahan-perubahan tersebut
adalah KH. Mohammad Ma'roef. Lalu ia mendirikan sebuah pondok yang
bernama “Kedunglo” yang terletak di desa Bandar Lor kecamatan Mojoroto
Kediri. KH. Mohammad Ma'roef mendirikan pondok pesantren ini karena
melihat semakin berkembangnya masyarakat pada masa penjajahan
kolonialisme yang pembinaannya telah didahului oleh ulama-ulama besar di
jamannya.
Di kota Kediri, pada awalnya sudah mengenal agama secara luas, termasuk
agama islam. Namun pada penerapan ajarannya perlu ditata lagi, karena
mereka belum sepenuhnya menerapkan syari’at islam, akan tetapi pada
prakteknya masih dicampur dengan adat istiadat yang bertentangan dengan
syari’at islam.
KH. Mohammad Ma'roef, puta dari K. Abdul Madjid pendiri pondok pesantren
Klampok Arum desa Badal Ngadiluwih kab. kediri ini juga alumni pondok
pesantren. Sebagai penerus dari perjuangan ayahnya, ia lantas ingin
mendirikan sebuah pondok pesantren, sebagai sarana untuk mewujudkan
masyarakat yang religius, masyarakat yang berbudi pekerti dan berakhlak.
Sepulang dari belajar di Makkah al Mukarramah selama + tujuh tahun, KH.
Mohammad Ma'roef tampak semakin alim dan waskita . Oleh karena itu, KH.
Mohammad Ma'roef disuruh oleh mertuanya - K. Shaleh , Banjarmlati
Mojoroto - untuk mencari tanah yang akan dijadikan pondok pesantren .
KH. Mohammad Ma'roef tidak menyia-nyiakan hal tersebut, dia lantas
tirakat sambil mengamalkan shalawat nariyah sebanyak 4.444 kali per
hari. Akhirnya dia mendapat petunjuk atau hidayah dari Allah swt. bahwa
tanah yang cocok untuk dijadikan pondok olehnya adalah tanah yang berada
di sebelah barat sungai brantas diantara dua jembatan.
Petunjuk yang diperoleh KH. Mohammad Ma'roef lalu dihaturkan kepada
mertuanya, akan tetapi mertuanya, K. Shaleh, dan beberapa orang kerabat
dan teman mengecam atau tidak setuju dengan tanah pilihan KH. Mohammad
Ma'roef. Hal ini disebabkan karena tanah tersebut dikenal sebagai bumi
supit urang, yaitu tanah yang berwujud rawa / perairan semacam danau dan
tidak berupa daratan. Namun KH. Mohammad Ma'roef tetap pada
pendiriannya memilih tanah tersebut sambil mengemukakan beberapa alasan.
Alasan tersebut adalah bahwa KH. Mohammad Ma'roef yakin bahwa pondok
yang akan didirikannya suatu saat nanti akan memiliki keistimewaan. Yang
pertama, dekat dengan pasar (pasar Bandar, utara lokasi pondok), kedua,
dekat dengan sungai, ketiga, dekat dengan pusat kota. Akhirnya alasan
tersebut diterima dan jadilah tanah tersebut dibeli.
Setelah tanah dibeli, pada 1800-an KH. Mohammad Ma'roef mendirikan
sebuah pondok pesantren. Pondok tersebut kemudian diberi nama
“Kedunglo”. Nama ini diambil dari kondisi pondok tersebut dibangun,
yaitu pondok didirikan diarea kedung (semacam danau) dan disana tumbuh
pohon Lo yang besar .
Karena di lokasi pondok yang pertama sering terjadi banjir sehingga
menggenangi sekitar lokasi pondok, maka pada tahun 1901 lokasi pondok
pesantren Kedunglo di pindahkan keselatan + 100 m dari lokasi semula.
Maka dibangunlah masjid dan pondokan untuk santri, yang mana masjid dan
pondokan yang dibangun KH. Mohammad Ma'roef sampai sekarang masih
berdiri kokoh dan belum di ganti (pugar).
Setelah KH. Mohammad Ma'roef tinggal di pondok Kedunglo, maka
berduyun-duyunlah para santri yang ingin menimba ilmu kepadanya. Namun
karena dia kurang suka memiliki banyak santri, maka sebagian santrinya
diserahkan kepada K. Abdul Karim , pendiri PP. HM. Lirboyo, yang saat
itu santrinya masih beberapa orang saja.
Ketika ditanya mengapa KH. Mohammad Ma'roef tidak suka mempunyai banyak
santri ? dia hanya menjawab : “Aku tidak mau memelihara banyak santri.
Disamping repot kalau punya banyak santri, pondok ini jadi kotor. Karena
itu saya mohon kepada Allah agar santri saya tidak lebih dari empat
puluh orang saja. Kalau lebih dari empat puluh nanti ada yang nakal
akhirnya pondok ini jadi rusuh”. Memang benar, santri KH. Mohammad
Ma'roef tidak pernah lebih dari empat puluh orang. Kalau lebih pasti ada
yang pulang.
Selain sebagai pengasuh pondok, KH. Mohammad Ma'roef juga sebagai guru
tunggal, tidak ada guru / ustadz selain dia. Karena santri-santrinya
ditangani sendiri, maka tak heran bila sepulang dari mondok di Kedunglo
para santrinya menjadi orang yang alim dan ampuh. Diantara santrinya
yang menjadi orang besar adalah K. Dalhar Watu Congol Magelang jawa
Tengah, K. Manab Lirboyo Kediri Jawa Timur (konon meski sudah memiliki
banyak santri, K. Manab masih mengaji ke Kedunglo), K. Musyafa’
Kaliwungu Kendal Jawa Tengah, K. Dimyathi Tremas, K. Musthafa Bisri
Rembang Jawa Tengah, K. Mubasyir Mundir kediri, K. Marzuki Solo, dan
para kyai yang ada di Kediri (pada masanya) yang pada umumnya pernah
belajar /mengaji pada KH. Mohammad Ma'roef .
KH. Mohammad Ma'roef menguasai berbagai macam disiplin ilmu, maka
kitab-kitab yang diajarkan juga kitab-kitab yang tinggi. bahkan cara
mengajarnya tidak sebagaimana ustadz-ustadz zaman sekarang. Untuk
mengajar syarah al Fiyah saja diamping menerangkan syarahnya, dia juga
membahas ‘arudnya (balaghahnya), maka satu mata pelajaran yang dibahas
sudah meluas ke mata pelajaran yang lain .
Setelah + 56 tahun memimpin pondok pesantren Kedunglo, pada hari Rabu
Wage ba’da Maghrib Bulan Muharram 1375 / th 1955 KH. Mohammad Ma'roef
berpulang ke rahmatullah, pucuk pimpinan pondok pesantren Kedunglo
digantikan kepada putra beliau yang bernama KH. Abdul Madjid Ma'roef.
Pada masa awal kepemimpinan KH. Abdul Madjid Ma'roef keadaan pondok
masih seperti pada masa KH. Mohammad Ma'roef, yaitu belum begitu banyak
santri yang mondok. Bahkan madrasah secara formalpun belum terbentuk.
Baru sekitar tahun 1970-an madrasah pondok baru berdiri.
2. Dasar dan Tujuan Pondok Pesantren
Yang dijadikan dasar oleh pondok pesantren Kedunglo sebagai lembaga
pendidikan islam sama seperti pondok-pondok lain, yaitu melaksanakan
tugas penyiaran dan pembinaan ajaran islam serta mengembangkannya serta
mewarnai masyarakat dengan warna yang islami. Artinya bahwa pondok
pesantren membina akhlak, tingkah laku dan perbuatan yang dilaksanakan
masyarakat berdasarkan pada ajaran islam sehingga terciptalah masyarakat
yang yang islami.
Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan umat dan
pengembangan agama islam. Dengan memperhatikan masyarakat Indonesia
dewasa ini, maka santri pondok pesantren Kedunglo diharapkan dapat dan
mampu :
- Memiliki wawasan keagamaan yang luas serta pandangan yang kritis terhadap jalannya pembangunan baik mental maupun spiritual.
- Mampu mengkontekstualisasikan ajaran islam kepada umat masyarakat.
- Menciptakaan struktur kemasyarakatan yang lebih profesional dan madani melalui ajaran islam.
Konsep madani bagi orang arab mengacu pada hal-hal yang ideal, yakni
mengacu pada kehidupan Rasul pada periode Madinah dengan pesona
keberhasilan Rasul membangun dan membina masyarakat yang plural,
demokratis, damai, saling menghormati dengan landasan hukum hak dan
tanggung jawab bersama. Kata madani juga ideal dalam kontek sosiologis
dunia Arab, dimana kota selalu menjanjikan peradaban yang lebih makmur .
Tindakan-tindakan sebagaimana tersebut diatas akan menjadi kepribadian
yang khas dari pondok pesantren Kedunglo. Hal ini bisa dirasakan dari
usaha pembinaan santri dalam pembiasaan dan pengertian yang nantinya
akan menghasilkan kader-kader yang militan untuk ikut serta membangun
umat masyarakat secara kaffah.
3. Tokoh Pendiri Pondok Pesantren
KH. Muhammad Ma’ruf
Tokoh pendiri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadhdharah adalah KH.
Mohammad Ma'roef. Dia lahir di dusun Klampok Arum desa Badal kecamatan
Ngadiluwih kab. Kediri pada tahun 1852. KH. Mohammad Ma'roef berasal
dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah K. Abdul Madjid, dia
pendiri pondok pesantren Klampok Arum sebelah selatan Masjid Badal dan
seorang yang sangat disegani dan ditokohkan didaerahnya.
Konon K. Abdul Madjid, ayah KH. Mohammad Ma'roef, mempunyai kebiasaan tirakat dengan hanya makan kunyit saja. Menurut penuturan KH. Mohammad Ma'roef kepada santrinya, K. Abdul Madjid mempunyai kesabaran yang luar biasa. Sehingga sang istri yang ingin tahu kemarahan sang suami membuatkan sayur tom, sayur yang rasanya sangat pahit, kemudian dihidangkan kepada K. Abdul Madjid. Akan tetapi dengan lahapnya, seolah tidak merasakan pahit, K. Madjid menghabiskan sayur yang telah dihidangkan istrinya. Malah ia tersenyum sembari berkata : “segar sekali sayur buatanmu ini, besuk buatkan sayur seperti ini lagi, ya!”. Pintanya kepada istrinya.
KH. Mohammad Ma'roef adalah putra kesembilan dari sepuluh bersaudara,
tiga perempuan dan tujuh laki-laki. Suadara-saudaranya itu adalah : Nyai
Bul kijah, KH. Muhajir, K. Ikrom, K. Rahmat, K. Abdul Alim, K. Jamal,
Nyai Muttaqin, K. Abdullah, KH. Mohammad Ma'roef, dan Nyai Suratun.
KH. Mohammad Ma'roef tidak lama merasakan kasih sayang ibunya, sebab
ibunya wafat ketika dia masih kecil. Akan tetapi dia masih merasakan
kasih sayang sang ayah dan saudara-saudaranya. Namun, tak lama kemudian
ayahnya menyusul ibunya dipanggil sang khaliq, Allah swt. Setelah itu
KH. Mohammad Ma'roef diasuh oleh kakak sulungnya, Nyai Bul Kijah.
Karena kondisi ekonomi Nyai Bul Kijah pas-pasan, maka ketika diusia
sekolah, Mohammad Ma'roef belum masuk sekolah. Dia hanya belajar mengaji
al Qur’an yang diajari oleh Nyai Bul Kijah, sang kakak. Itupun Nyai bul
Kijah sering mengeluh, ini dikarenakan Mohammad Ma'roef kecil sangat
bodoh. Apa yang diajarkan kakaknya seakan tidak ada yang diterimanya.
Akhirnya Nyai Bul Kijah menyuruhnya untuk puasa senin-kamis.
Tidak lama setelah melaksanakan puasa senin-kamis, Mohammad Ma'roef
bermimpi ada seekor ikan emas meloncat masuk ke dalam mulutnya. Mimpi
ini diartikan bahwa Mohammad Ma'roef mendapatkan tanda-tanda adri Allah
bahwa dia mendapatkan suatu ilmu.
Suatu ketika Mohammad Ma'roef dimarahi oleh Nyai Bul Kijah dan dipukul
dengan ulek-ulek, alat untuk menggerus sambal, oleh Nyai Bul Kijah lalu
dia ngambek dan menyusul kakak-kakaknya yang terlebih dulu sudah berada
di pondok dengan berjalan kaki, pondok pesantren di desa Cepoko kec.
Berbek Kab. Nganjuk.
Di pondok tersebut, Mohammad Ma'roef hanya makan seminggu sekali, itupun
pemberian warga sekitar yang setiap malam jum’at mengirim makanan ke
pondok. Pada hari-hari biasa , jika lapar ia hanya makan intip yang
masih melekat dipanci dan tak dimakan oleh pemiliknya atau memakan buah
pace yang pohonnya dia tanam sendiri dilingkungan pondok.
Kondisi yang memperihatinkan selama nyantri tersebut membuat Mohammad
Ma'roef mempunyai kebiasaan puasa dan munajat kepada Allah, sehingga
suatu ketika Allah menganugerahkan ilmu laduni kepadanya.
Akan tetapi untuk mendapatkan ilmu laduni ini tidaklah mudah. KH.
Mohammad Ma'roef muda harus benar-benar tirakat serta riyadhah dengan
waktu yang cukup lama. Ilmu laduni yang diberikan Allah kepada KH.
Mohammad Ma'roef itu dibidang : Ilmu Fiqh, yaitu bermula dari mimpi yang
mengajar kitab kuning di pondok. Setelah kejadian tersebut dia yang
sudah mondok selama tujuh tahun dan baru kelas satu Tsanawiyah tiba-tiba
bisa membaca kitab kuning. Kemudian ia sowan kepada K. Muh, pengasuh
pondok, menceritakan yang telah dialaminya. Kemudian K. Muh mengumumkan
kepada seluruh santri kalau besok dia tidak mengajar dan akan digantikan
oleh Ma'ruf dari Kediri.
Mendengar pengumuman dari sang kiyai, teman-teman mondok M. Ma'ruf
banyak yang mentertawainya bahkan mengejek. “Orang tidak bisa ngaji kok
disuruh mengajar, apalagi menggantikan kyai. Apa dia bisa ?”. Namun
benar saja, Muhammad Ma'ruf bisa mengajar bahkan ia hafal isi kitab
milik gurunya, sehingga berita ini menggemparkan seluruh isi pondok.
Muhammad Ma'roef yang dulunya bodoh, tidak bisa mengaji, diremehkan
bahkan dibenci oleh teman-temannya tiba-tiba menjadi orang yang ‘alim,
seketika itu juga mereka (teman-teman Mohammad Ma'roef) segan dan
menghomati Mohammad Ma'roef. Bahkan, menurut cerita, K. Muh sendiri ikut
berguru / mengaji kepada Mohammad Ma'roef.
Beberapa lama setelah kejadian itu, Mohammad Ma'roef melanjutkan
perburuan mencari ilmu ke Semarang pada K. Shalih. Genap dua tahun
mondok pada K. Shalih di Semarang dia pindah ke pondok Langitan Tuban.
Setelah setahun belajar di pondok Langitan Tuban, dia pulang ke Kediri.
Tak lama berselang, dalam usia 30 tahun, dia diambil menantu oleh K.
Shalih dari Banjarmlati Kediri untuk putri sulungnya yang bernama
Hasanah. + Dua tahun menikah puta pertama Mohammad Ma'roef dan Ny.
Hasanah lahir, namun begitu rasa hausnya akan ilmu membuat dia harus
meninggalkan keluarganya untuk menimba ilmu pada K. Khalil Bangkalan
Madura yang termasyhur sebagai waliyullah.
Setibanya di pondok K. Khalil Bangkalan dia disambut langsung oleh sang
tuan rumah : “ Hai, anak jawa tampaknya kamu lapar, ini saya beri makan,
harus dihabiskan”. Kata K. Khalil sambil menyerahkan senampan besar
nasi dengan lauk ikan bandeng sebesar betis. “Ya, Kiyai”, jawab Mohammad
Ma'roef. Diapun mulai menyantap nasi dan lauk yang dihidangkan tersebut
dengan niat menyerap ilmunya K. Khalil.
Selama Mohammad Ma'roef makan, K. Khalil terus mengawasinya dengan
berdiri disampingnya. Tangan K. Khalil membawa tongkat yang siap
dipukulkan apabila Mohammad Ma'roef tidak mampu menghabiskan makanan
tersebut.
Bagi Mohammad Ma'roef yang terbiasa dengan puasa dan berlapar-lapar,
menghabiskan makanan yang sebegitu banyak tentu saja tidak akan mudah.
Namun karena didorong niat yang kuat untuk menyerap ilmunya sang kiyai,
diapun lantas berdo’a kepada Allah agar bisa menghabiskan makanan
tersebut. Konon, do’a Mohammad Ma'roef ini bila di baca, maka seberapa
banyak makanan yang dimakan, perut tidak akan merasa penuh dan makanan
akan tetap bisa masuk ke perut. Dan benar saja, makanan yang dihidangkan
K. Khalil habis dimakan Mohammad Ma'roef sendirian.
Selama nyantri pada K. Khalil, KH. Mohammad Ma'roef muda tetap pada
kegemarannya untuk senantiasa riyadhoh, bahkan semakin menjadi-jadi. Dan
riyadhoh seolah sudah mendarah daging dengan Mohammad Ma'roef. Selama
itu pula ia mempunyai kebiasaan berziarah ke makam-makam keramat auliya
se- Madura. Di makam-makam tersebut dia bukan hanya berziarah, tapi juga
tirakat. Apabila dia belum bertemu dengan wali yang dimakamkan di situ,
dia belum mau pergi. Sehingga dia dapat langsung berdialog dengan wali
yang sedang diziarahi. Tujuan riyadhohnya adalah ingin mempunyai ilmu
laduni.
Terakhir dia riyadhoh di makam yang berada di Bujuk Sangkak, disini dia
bertemu dengan yang diziarahi dan berkata : “Hai, anak muda, mengapa
kamu tirakat disini, apa yang kamu cari ?”. “Saya santri K. Khalil
Bangkalan, ingin jadi orang alim. Do’akan saya agar mendapatkan ilmu
laduni”, jawab Mohammad Ma'roef. Penghuni makam tersebut menjawab :
“Kamu bisa mendapatkan ilmu laduni, tapi tirakatmu masih kurang”.
Mendengar jawaban itu, Mohammad Ma'roef langsung menangis sedih.
Setengah putus asa, kemudian dia kembali ke pondok sambuil terus
menangis. Mengetahui hal itu, K. Khalil langsung menegur santinya itu :
“Ma'roef sudah berminggu-minggu kamu tidak berada di pondok, pergi
kemana kamu ?”. Ma'rufpun menceritakan apa yang dialaminya dan berkata
kalau riyadhahnya masih kurang.
“Ada satu makam lagi yang belum kamu datangi, yakni makam Kyai Abu
Syamsudin di Batu Ampar. Dia seorang wali besar. Semalam saya bertemu
Kyai Abu Syamsudin, dia menyuruh saya menulis dikuburannya, siapa yang
bisa menghatamkan Al-Qur’an sekali duduk, apapun keinginannya akan
terkabul”. Kata K. Khalil. Mendengar hal itu, Mohammad Ma'roef langsung
berangkat ke Batu Ampar dan menghatamkan Al-Qur’an sekali duduk mulai
Shubuh sampai Ashar.
Selesai menghatamkan Al-Qur’an, seketika datang angin lesus menerjang
tubuh Mohammad Ma'roef. Perasaannya saat itu, seakan dia ditumpahi nasi
kuning hingga dia muntah berak. Ditumpahi nasi kuning ini diartikan
bahwa Mohammad Ma'roef diberi ilmu oleh Allah berkah riyadhahnya di
makam K. Abu Syamsudin.
Sepulang riyadhah di makam K. Abu Syamsudin, segala kitab yang ada di
pondok K. Khalil dikuasainya. Maka tercapailah sudah keinginan Mohammad
Ma'roef untuk mendapatkan ilmu laduni tersebut.
Diantara teman belajar KH. Mohammad Ma'roef’ saat pada K. Khalil
Bangkalan adalah KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), KH. Abdul Karim Manaf
(Pendiri PP. HM. Lirboyo – saudara ipar KH. Mohammad Ma'roef’).
Suatu hari Mohammad Ma'roef dipanggil K. Khalil, “Ma'roef, saya akan
pergi haji. Pondok ini saya serahkan kepadamu.” Diserahi pondok bukannya
malah senang, dia malah masygul dan susah sekali. “Kyai, saya kesini
pengen ngaji kok mau ditinggal. Saya mau ikut panjenengan naik haji
saja, kyai.” Apa boleh buat, akhirnya K. Khalil mengabulkan permintaan
murid kesayangannya.
Selesai mengikuti gurunya menyempurnakan rukun Islam yang kelima, H.
Mohammad Ma'roef menetap di Makkah untuk melanjutkan studi dan membuat
rumah di sana. Kepada santrinya KH. Mohammad Ma'roef tidak pernah
menceritakan siapa saja yang menjadi gurunya selama belajar di Makkah.
Namun karena dia di sana antara tahun 1887 – 1894, dapat diduga bahwa
gurunya antara lain : Syekh Nawawi Al Bantani dari Banten, Syekh Ahmad
Khatib Al Minangkabawi dari Minangkabau, Syekh Makhfud dari Tremas
Pacitan, Syekh Abas Al Yamani, Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti
Madzhab Syafi’I di Makah35. Sepulang dari Makkah H. Mohammad Ma'roef
mendirikan pondok yang diberi nama pondok pesantren Kedunglo.
Pada tahun 1926, KH. Mohammad Ma'roef menerjunkan diri dalam organisasi
kemasyarakatan. Hal ini karena diajak oleh sahabatnya yakni KH. Mohammad
Hasyim Asy’ari yang pada waktu itu akan mendirikan Persatuan Nahdhatul
Ulama (NU). Saat pendirian NU, KH. Mohammad Ma'roef duduk di Mustasyar
NU. Sebagai penasihat di NU, dia kerap menghadiri muktamar-muktamar NU
yang diadakan di daerah-daerah. Karena dia sudah terkenal makbul
do’anya, maka dia sering didaulat untuk memimpin do’a. Biasanya, jika
para ulama NU mengadakan Bahsul Masail dan menemui jalan buntu, maka
jalan keluarnya adalah mereka sowan pada KH. Mohammad Ma'roef untuk
meminta petunjuk.
Dalam hal ini KH. Mohammad Ma'roef’ menunjukkan kelas dan
kekharismatikannya. Dengan hanya mengatakan : “masalah itu ada di kitab
anu……”. Tanpa menjelaskan detail masalahnya. Dia memberi petunjuk
tentang penyelesaian dari masalah tersebut.
Sumbangsih KH. Mohammad Ma'roef kepada negara di zaman perjuangan
mengusir penjajah amatlah besar. Hal ini ditunjukkan saat pertempuran
10 November 1945 di Surabaya, bersama Mayor Hizbullah Mahfud dan Kyai
Hamzah yang juga turut ke medan pertempuran. Dia juga memberi bekal
kepada para prajurit yang akan turun ke medan laga dengan do’a-do’anya
dengan harapan tidak terlihar oleh musuh dan kebal senjata.
Pada hari-hari terakhir menjelang wafatnya, KH. Mohammad Ma'roef yang
memiliki do’a-do’a ampuh untuk segala macam urusan ditulis
keseluruhannya di papan tulis. Kemudian dia menyuruh santrinya untuk
menulis do’a-do’a yang disukai. Dengan senang hati para santri segera
menulis do’a-do’a tersebut lalu disowankan kepada gurunya. Do’a-do’a
pilihan yang sudah ditulis di kertas itu oleh KH. Mohammad Ma'roef hanya
ditiup saja.
KH. Mohammad Ma'roef juga sering berwasiat kepada para tamu yang sowan
dan minta petunjuk, agar mengamalkan sholawat saja. Lebih jelas dia
mengatakan kalau di Kedunglo nanti akan lahir sholawat bagus.
Wasiat serupa juga disampaikan kepada mbah Khomsah familinya saat minta
restu akan mengikuti bai’at thariqah yang dihadiri oleh K. Romli dari
Nganjuk. Dia berkata, “Sah, jangan ikut bai’at Thariqah, Thariqah itu
berat. Untuk orang yang punya uang tidak kuat. Sepeninggalku nanti, di
Kedunglo akan ada sholawat yang baik, tunggulah kamu akan menjumpai
sholawat itu. “ Terbukti, tujuh tahun setelah KH. Mohammad Ma'roef wafat
shalawat yang dinantikan yakni sholawat Wahidiyah lahir.
Pada detik-detik menjelang wafatnya, KH. Mohammad Ma'roef yang berusia
103 tahun tidak kuat naik ke mesjid, dia tidak biasanya menyuruh
murid-muridnya yang dari Mojo (K. Makhsun, K. Ruba’i, K. Mahfud dan K.
Mukhsin) agar mengajar anak-anak kecil pakai papan tulis. Padahal
jangankan mengajar mau sekolah saja empat sekawan tersebut oleh Mbah
Ma'roef tidak diperkenankan.
Dalam kepayahannya karena sakit, dia masih memikirkan pembangunan
pondoknya dengan menyuruh santrinya, Makhsun dan Siyabudin mencari uang
untuk membangun pondok. Mereka pun pergi ke Surabaya, Gresik dan Malang
melaksanakan perintah gurunya, KH. Mohammad Ma'roef
Kelihatan sekali kalau Sang pendiri pondok pesantren Kedunglo sangat
dermawan. Meski ajal akan menjemput, dia masih juga berfikir untuk
bershadaqah. Dengan tangan lemas lunglai dia membuka-buka kasur dan
bantal mencari-cari uangnya. Nyahi Romlah sang putri melihat kelakuan
aneh ayahnya sampai menegur, “Pak, sakit-sakit kok mencari uang buat
apa?”. “Kamu ini bagaimana, ya buat shadaqah.” Jawab KH. Mohammad
Ma'roef’.
selanjutnya :
4. Kisah sekilas, KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs. wa Ra.
No comments:
Post a Comment