Oleh : Muhammad Arif
MASA PERKEMBANGAN
PONDOK PESANTREN KEDUNGLO AL MUNADHDHARAH KEDIRI JAWA TIMUR
Untuk dapat mengetahui perkembangan suatu pondok pesantren, tentunya
kita harus dapat memahami perubahan-perubahan di dalam pondok pesantren .
Dan seharusnya diketahui terlebih dahulu sebab-sebab yang mendorong
terjadinya perubahan itu sendiri.
Perubahan-perubahan itu dapat kita lihat pada pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kyai yang merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren. Ini berarti bahwa suatu lembaga pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut, akan berubah statusnya menjadi pesantren . Dengan melihat perubaha-perubahan dari lima elemen itu maka nantinya kita dapat mengetahui perkembangan dari pondok pesantren. Di dalam perkembangan Pondok Pesantren Kedunglo ini, kita kelompokkan dalam tiga (3) periode, yaitu :
A. Periode Awal tahun 1901 – 1955
Setelah hampir tiga ratus tahun umat Islam melakukan perjuangan menentang kolonial Salibiyah, yang berakhir dengan kekalahan, maka pada tahun-tahun tersebut umat Islam mencoba bangkit kembali. Karena medan perjuangan telah mengalami banyak perubahan, maka pola perjuanganpun mengalami perubahan, walau sasaran utama tetap sama yaitu tegaknya negara Islam, dimana syari’at Islam dapat dilaksanakan secara utuh . Maka dengan kondisi seperti itu pola perjuangan dari umat Islam berubah. Yaitu banyak yang mendirikan organisasi-organisasi ke Islaman. Organisasi-organisasi ke-Islaman didirikan karena pada saat itu ekspansi Kristenisasi sangat mencolok, yang dilakukan oleh missi dan zending Kristen (Katolik dan Protestan) dengan bantuan sepenuhnya oleh penguasa kolonial Belanda . Dengan kondisi masyarakat yang terombang-ambing seperti itu maka banyak juga yang mendirikan pondok pesantren.
Pada tahun 189… berdirilah pondok pesantren Kedunglo yang didirikan oleh KH. Mohammad Ma'roef. Karena tempat didirikannya pondok saat itu sering terkena banjir, maka pada tahun 1901 lokasi pondok dipindahkan keselatan lokasi yang lama ( + 50 m ). Periode ini dikatakan periode awal, karena periode inilah yang mengawali kehidupan baru di dalam pondok pesantren Kedunglo yang bertujuan menyiarkan dan mengembangkan ajaran Islam, artinya bahwa pondok pesantren membina akhlaq, tingkah laku dan perbuatan yang dilaksanakan masyarakat berdasarkan pada ajaran Islam, sehingga terciptalah masyarakat yang Islami. Karena melihat kondisi lingkungan sekitar yang masyarakatnya lebih dekat dengan adat istiadat atau lebih banyak menganut kepada aliran-aliran kebatinan.
Pada saat itu pendidikan agama belum banyak berkembang dan pesantren inilah yang berfungsi sebagai sarana untuk menyiarkan agama islam secara utuh dalam masyarakat Ds. Bandar Lor.
Konon KH. Mohammad Ma'roef mempunyai temperamen yang keras. Kalau dia sedang marah pada seseorang ya marah betul. Bahkan kalau dia sedang marah dan sempat mengeluarkan kata-kata celaka, maka orang yang dimarahi akan celaka betul. Akan tetapi dia sangat terbuka. Segala peristiwa yang terjadi pada dirinya hampir pasti diceritakan kepada keluarga dan murid-murid kesayangannya mengetahui perjalanan hidup gurunya dari yang sifatnya umum sampai pribadi.
Setelah pondok pesantren Kedunglo didirikan akhirnya berbondong-bondonglah santri untuk mengaji, akan tetapi pada periode awal tersebut jumlah santri belum begitu banyak. Sistem pengajarannya menggunakan struktur, metode dan literature tradisional. Pendidikan pengajaran tradisional dapat berupa pendidikan formal di sekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah (lingkaran) dalam bentuk pengajian weton dan sorogan. Ciri utama dari pengajian tradisional ini adalah cara pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan harfiah (letterlijk) atas suatu kitab (teks) tersebut, untuk kemudian dilanjutkan dengan pembacaan kitab (teks) lain . Kitab-kitab yang diberikan kepada santri adalah kitab-kitab sebagaimana yang ada di pondok-pondok salaf lain yaitu mengacu pada bidang tauhid serta do’a-do’a yang menjadi tren pada saat itu, seperti tahlil, wirid-wirid dan masih banyak lagi. Tetapi sat itu di Pondok Pesantren Kedunglo belum didirikan madrasah untuk sarana belajar, karena santri masih sedikit, maka pengajaran santri langsung ditangani sang pengasuh pondok.
Adapun fasilitas pondok pada saat itu masih sangat terbatas sekali. Misalnya jumlah pondok, mengingat bahwa santri yang mondoknya masih sangat terbatas. Adapun pondok pada zaman KH. Mohammad Ma'roef ini adalah pondok yang sekarang diberi nama Al Ma'roef dan Al Mundir. Keadaan masjid yang ada di pondok pesantren Kedunglo pada saat itu sampai saat ini masih tetap belum ada perubahan akan tetapi sudah ada penambahan-penambahan.
B. Periode Pertengahan, Tahun 1955 – 1989
Pada periode ini dikatakan masa pertengahan karena berada diantara masa awal berdiri dan masa perkembangan. Pada periode ini pucuk kepemimpinan berganti. Setelah KH. Mohammad Ma'roef meninggal dunia pada tahun 1955 lalu digantikan oleh putranya yaitu KH. Abdul Madjid Ma'roef. Dia mempunyai kepribadian yang sangat mempesona. Kalau bicara tenang dan santai disertai senyum, dia juga sering melontarkan kalimat-kalimat canda, dia berbicara dengan jawami kalam, artinya kata-kata yang dituturkannya mengandung makna yang banyak. Dia mengucapkan kata-kata dengan jelas, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki. Dia memperhatikan sungguh-sungguh kepada orang yang berbicara dengannya.
KH. Abdul Madjid Ma'roef juga terkenal sangat dermawan. Tidak jarang tamunya yang sowan dan nampak tidak punya ongkos buat pulang diberi uang olehnya. Bila marah, dia cuma diam. Hanya roman mukanya sedikit berubah. Kalau dia mau berbicara pertanda bahwa marahnya sudah hilang dan tidak terjadi apa-apa.
Pada periode pertengahan ini, santri masih tetap. Dalam artian belum begitu banyak yang mondok. Sampai pada tahun 1963 muncullah Shalawat Wahidiyah yang ditaklif langsung oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef. Pro dan kontra saat itu terjadi namun tidak begitu banyak hambatan, yang akhirnya dapat mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai sekarang ini.
Setapak demi setapak langkah KH. Abdul Madjid Ma'roef menuju suasana yang lebih terang, ini terbukti semakin banyaknya peningkatan-peningkatan. Misalnya banyaknya santri yang berdatangan di pondok pesantren Kedunglo untuk mondok. Dan setiap tahunnya jumlah santri selalu meningkat. Akan tetapi sistem pendidikan tradisional yang digunakan adalah sistem pengajaran semacam asrama seakan-akan mereka hanya butuh tempat saja, karena banyak yang sekolah umum di luar pondok.
Akhirnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef, sesuai dengan perkembangan zaman, dia ingin mencetak wali yang intelek dan intelek yang wali. Maka dikumpulkanlah orang-orang dekat untuk mewujudkan cita-citanya. Pada pertengahan era tujuh puluhan di Pondok Pesantren Kedunglo didirikan madrasah diniyah sebagai sarana belajar santri tentang berbagai disiplin ilmu agama.
Serta pada tahun 1982 dibuatlah sekolah umum di dalam lingkungan pesantren, yaitu didirikannya SLTP dan SLTA, serta pada tahun 1985 didirikan TK. Pada saat itu gedung dan perlengkapan yang dimiliki masih sangat terbatas sekali, lokasinya ditempatkan di depan Masjid atau disekeliling pondok pesantren Kedunglo. Dengan adanya pendidikan umum itu disambut antusias oleh pengamal Wahidiyah yang ingin tabaruk atau yang ingin keberkatan, keselamatan, kesentosaan kepada mu’alif Shalawat Wahidiyah. Sehingga membawa pondok pesantren mengalami kemajuan. Sistem pendidikan yang dianut di Pondok Pesantren Kedunglo memakai sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan salafi ( tradisional ) serta kurikulum nasional. Karena sistem pendidikan di SLTP dan SLTA mengikuti pada sistem pendidikan Nasional.
Tenaga pengajar di dalam pendidikan wahidiyah itu diajar oleh guru-guru yang juga para pengamal wahidiyah dan para simpatisan wahidiyah yang mengajar di sekolah negeri di wilayah karisidenan Kediri. Lama-kelamaan jumlah santri meningkat sekitar + 400 orang santri putra dan putri yang sebagian besar hampir 95 % masuk di sekolah wahidiyah yang lainnya hanya mondok saja. Disamping santri dibekali oleh pengetahuan umum dengan adanya TK, SLTP dan SMU, seluruh santri diharuskan mengikuti segala kegiatan yang diadakan dalam pesantren.
Kegiatan yang diadakan dalam Pondok Pesantren Kedunglo adalah jama’ah shalat witir dilanjutkan dengan jama’ah shalat shubuh beserta mujahadahnya (pengamalan shalawat wahidiyah), pagi sampai siang mengikuti pelajaran di SLTP dan SLTA, bagi yang tidak sekolah pagi diadakan pengajian kitab kuning, pada malam harinya semua santri diwajibkan mengikuti sekolah agama atau sekolah diniyah sebagai perbekalan kepada masyarakat setelah ia pulang dari pondok pesantren Kedunglo. Adapun kitab-kitab yang diajarkan seperti fiqh meliputi safinatush sholeh, sulam taufiq, takrib, fatkhul mu’in serta kitab lain yang menunjang. Kitab nahwu seperti jurumiyah, imriti dan alfiah, kitab taukhid meliputi jawahirul kalamiyah, aqidatul kalamiyah.
Setiap kamis malam jum’at KH. Abdul Madjid Ma'roef memberikan pengajian umum kitab Al-Hikam karya sheikh Ibn Aththo’illah di dalam masjid. Santri yang hadir dalam pengajian tersebut tidak hanya dari Pondok Pesantren Kedunglo, namun juga dari wilayah karisidenan Kediri, dari wilayah yang jauh seperti Jawa Barat, Jawa tengah, bahkan luar Jawapun juga datang. Yang intinya pada pengajian itu adalah tabarukan kepada mu’alif shalawat wahidiyah serta untuk semakin memahami tentang ajaran wahidiyah. Waktu untk pengajian kitab al Hikam ini kemudian diganti pada hari ahad pagi, hal ini memperhatikan permintaan dari jama’ah yang mana mereka bisa mengikuti pengajian pada hari ahad, karena bertepatan dengan libur kerja.
Dengan semakin bertambahnya santri yang mondok di pondok pesantren Kedunglo tersebut akhirnya jumlah pondokpun juga semakin bertambah. Adapun penambahan jumlah pondok adalah yang sekarang disebut pondok Al-Fikr dan pondok Al-Hikam.
Perkembangan demi perkembangan telah tersusun, namun usialah yang membatasi. Pada tahun 1989 KH. Abdul Madjid Ma'roef telah kembali ke Rahmatullah.
C. Periode Perkembangan Tahun 1989 – 2005
Setelah KH. Abdul Madjid Ma'roef meninggal dunia, pucuk pimpinan Pondok Pesantren Kedunglo dan perjuangan wahidiyah ( Penyiar Shalawat Wahidiyah Pusat ) digantikan oleh putranya yang bernama KH. Abdul Latief Madjid. Hal ini diputuskan dalam musyawarah keluarga pada tanggal 8 maret 1989 + jam 02.00 Wib. sebelum jenazah KH. Abdul Madjid Ma'roef dikebumikan yang saat itu dibacakan oleh Mayor TNI (Purn) AF. Badri dan M. Machrus.
KH. Abdul Latif Madjid sangat disiplin dalam memimpin pondok pesantren Kedunglo dan Penyiar Sholawat Wahidiyah. Kalau terjadi sesuatu masalah, dia tidak segan-segan turun tangan dan memberikan pemecahan masalah. Sifatnya yang seperti itu menyebabkan sebagian orang yang dari awal kontra dengan dia semakin tidak senang. Disamping itu dia juga mempunyai pemikiran yang modern dalam upaya peningkatan mutu madrasah atau pondok pesantren yang merupakan tuntutan yang makin mendesak dan tidak dapat dihindari.
Era pasar bebas yang dimulai pada tahun 2003 menuntut kemampuan bersaing untuk sumber daya manusia kita. Kemampuan bersaing hanya mungkin muncul bila kita berkualitas. Tanpa kualitas, maka Sumber Daya Manusia kita akan menjadi tenaga kerja dan tenaga lapis bawah dalam era pasar bebas tersebut .
Untuk memberi gambaran madrasah pada masa depan, maka perlu dirumuskan gambaran tentang Visi madrasah dalam alam globalisasi. Visi madrasah tersebut adalah menjadi madrasah sebagai sekolah plus yang berkualitas, berkarakter dan mandiri. Madrasah plus adalah madrasah yang menyiapkan anak didik mampu dalam sains dan teknologi, namun tetap dengan identitas keislamannya. Ini sesuai dengan konsep madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam.
KH. Abdul Latief Madjid mengatakan bahwa seorang santri pondok pesantren Kedunglo harus mempunyai ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan selain ilmu agama. Dia menata managemen pondok pesantren Kedunglo sebagai pelaksana apa yang dicita-citakan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef yang ingin menjadikan santri-santri Kedunglo sebagai wali yang intelek dan intelek yang wali. Maka rehabilitas pondok ditingkatkan.
Perubahan-perubahan itu dapat kita lihat pada pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kyai yang merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren. Ini berarti bahwa suatu lembaga pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut, akan berubah statusnya menjadi pesantren . Dengan melihat perubaha-perubahan dari lima elemen itu maka nantinya kita dapat mengetahui perkembangan dari pondok pesantren. Di dalam perkembangan Pondok Pesantren Kedunglo ini, kita kelompokkan dalam tiga (3) periode, yaitu :
A. Periode Awal tahun 1901 – 1955
Setelah hampir tiga ratus tahun umat Islam melakukan perjuangan menentang kolonial Salibiyah, yang berakhir dengan kekalahan, maka pada tahun-tahun tersebut umat Islam mencoba bangkit kembali. Karena medan perjuangan telah mengalami banyak perubahan, maka pola perjuanganpun mengalami perubahan, walau sasaran utama tetap sama yaitu tegaknya negara Islam, dimana syari’at Islam dapat dilaksanakan secara utuh . Maka dengan kondisi seperti itu pola perjuangan dari umat Islam berubah. Yaitu banyak yang mendirikan organisasi-organisasi ke Islaman. Organisasi-organisasi ke-Islaman didirikan karena pada saat itu ekspansi Kristenisasi sangat mencolok, yang dilakukan oleh missi dan zending Kristen (Katolik dan Protestan) dengan bantuan sepenuhnya oleh penguasa kolonial Belanda . Dengan kondisi masyarakat yang terombang-ambing seperti itu maka banyak juga yang mendirikan pondok pesantren.
Pada tahun 189… berdirilah pondok pesantren Kedunglo yang didirikan oleh KH. Mohammad Ma'roef. Karena tempat didirikannya pondok saat itu sering terkena banjir, maka pada tahun 1901 lokasi pondok dipindahkan keselatan lokasi yang lama ( + 50 m ). Periode ini dikatakan periode awal, karena periode inilah yang mengawali kehidupan baru di dalam pondok pesantren Kedunglo yang bertujuan menyiarkan dan mengembangkan ajaran Islam, artinya bahwa pondok pesantren membina akhlaq, tingkah laku dan perbuatan yang dilaksanakan masyarakat berdasarkan pada ajaran Islam, sehingga terciptalah masyarakat yang Islami. Karena melihat kondisi lingkungan sekitar yang masyarakatnya lebih dekat dengan adat istiadat atau lebih banyak menganut kepada aliran-aliran kebatinan.
Pada saat itu pendidikan agama belum banyak berkembang dan pesantren inilah yang berfungsi sebagai sarana untuk menyiarkan agama islam secara utuh dalam masyarakat Ds. Bandar Lor.
Konon KH. Mohammad Ma'roef mempunyai temperamen yang keras. Kalau dia sedang marah pada seseorang ya marah betul. Bahkan kalau dia sedang marah dan sempat mengeluarkan kata-kata celaka, maka orang yang dimarahi akan celaka betul. Akan tetapi dia sangat terbuka. Segala peristiwa yang terjadi pada dirinya hampir pasti diceritakan kepada keluarga dan murid-murid kesayangannya mengetahui perjalanan hidup gurunya dari yang sifatnya umum sampai pribadi.
Setelah pondok pesantren Kedunglo didirikan akhirnya berbondong-bondonglah santri untuk mengaji, akan tetapi pada periode awal tersebut jumlah santri belum begitu banyak. Sistem pengajarannya menggunakan struktur, metode dan literature tradisional. Pendidikan pengajaran tradisional dapat berupa pendidikan formal di sekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah (lingkaran) dalam bentuk pengajian weton dan sorogan. Ciri utama dari pengajian tradisional ini adalah cara pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan harfiah (letterlijk) atas suatu kitab (teks) tersebut, untuk kemudian dilanjutkan dengan pembacaan kitab (teks) lain . Kitab-kitab yang diberikan kepada santri adalah kitab-kitab sebagaimana yang ada di pondok-pondok salaf lain yaitu mengacu pada bidang tauhid serta do’a-do’a yang menjadi tren pada saat itu, seperti tahlil, wirid-wirid dan masih banyak lagi. Tetapi sat itu di Pondok Pesantren Kedunglo belum didirikan madrasah untuk sarana belajar, karena santri masih sedikit, maka pengajaran santri langsung ditangani sang pengasuh pondok.
Adapun fasilitas pondok pada saat itu masih sangat terbatas sekali. Misalnya jumlah pondok, mengingat bahwa santri yang mondoknya masih sangat terbatas. Adapun pondok pada zaman KH. Mohammad Ma'roef ini adalah pondok yang sekarang diberi nama Al Ma'roef dan Al Mundir. Keadaan masjid yang ada di pondok pesantren Kedunglo pada saat itu sampai saat ini masih tetap belum ada perubahan akan tetapi sudah ada penambahan-penambahan.
B. Periode Pertengahan, Tahun 1955 – 1989
Pada periode ini dikatakan masa pertengahan karena berada diantara masa awal berdiri dan masa perkembangan. Pada periode ini pucuk kepemimpinan berganti. Setelah KH. Mohammad Ma'roef meninggal dunia pada tahun 1955 lalu digantikan oleh putranya yaitu KH. Abdul Madjid Ma'roef. Dia mempunyai kepribadian yang sangat mempesona. Kalau bicara tenang dan santai disertai senyum, dia juga sering melontarkan kalimat-kalimat canda, dia berbicara dengan jawami kalam, artinya kata-kata yang dituturkannya mengandung makna yang banyak. Dia mengucapkan kata-kata dengan jelas, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki. Dia memperhatikan sungguh-sungguh kepada orang yang berbicara dengannya.
KH. Abdul Madjid Ma'roef juga terkenal sangat dermawan. Tidak jarang tamunya yang sowan dan nampak tidak punya ongkos buat pulang diberi uang olehnya. Bila marah, dia cuma diam. Hanya roman mukanya sedikit berubah. Kalau dia mau berbicara pertanda bahwa marahnya sudah hilang dan tidak terjadi apa-apa.
Pada periode pertengahan ini, santri masih tetap. Dalam artian belum begitu banyak yang mondok. Sampai pada tahun 1963 muncullah Shalawat Wahidiyah yang ditaklif langsung oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef. Pro dan kontra saat itu terjadi namun tidak begitu banyak hambatan, yang akhirnya dapat mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai sekarang ini.
Setapak demi setapak langkah KH. Abdul Madjid Ma'roef menuju suasana yang lebih terang, ini terbukti semakin banyaknya peningkatan-peningkatan. Misalnya banyaknya santri yang berdatangan di pondok pesantren Kedunglo untuk mondok. Dan setiap tahunnya jumlah santri selalu meningkat. Akan tetapi sistem pendidikan tradisional yang digunakan adalah sistem pengajaran semacam asrama seakan-akan mereka hanya butuh tempat saja, karena banyak yang sekolah umum di luar pondok.
Akhirnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef, sesuai dengan perkembangan zaman, dia ingin mencetak wali yang intelek dan intelek yang wali. Maka dikumpulkanlah orang-orang dekat untuk mewujudkan cita-citanya. Pada pertengahan era tujuh puluhan di Pondok Pesantren Kedunglo didirikan madrasah diniyah sebagai sarana belajar santri tentang berbagai disiplin ilmu agama.
Serta pada tahun 1982 dibuatlah sekolah umum di dalam lingkungan pesantren, yaitu didirikannya SLTP dan SLTA, serta pada tahun 1985 didirikan TK. Pada saat itu gedung dan perlengkapan yang dimiliki masih sangat terbatas sekali, lokasinya ditempatkan di depan Masjid atau disekeliling pondok pesantren Kedunglo. Dengan adanya pendidikan umum itu disambut antusias oleh pengamal Wahidiyah yang ingin tabaruk atau yang ingin keberkatan, keselamatan, kesentosaan kepada mu’alif Shalawat Wahidiyah. Sehingga membawa pondok pesantren mengalami kemajuan. Sistem pendidikan yang dianut di Pondok Pesantren Kedunglo memakai sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan salafi ( tradisional ) serta kurikulum nasional. Karena sistem pendidikan di SLTP dan SLTA mengikuti pada sistem pendidikan Nasional.
Tenaga pengajar di dalam pendidikan wahidiyah itu diajar oleh guru-guru yang juga para pengamal wahidiyah dan para simpatisan wahidiyah yang mengajar di sekolah negeri di wilayah karisidenan Kediri. Lama-kelamaan jumlah santri meningkat sekitar + 400 orang santri putra dan putri yang sebagian besar hampir 95 % masuk di sekolah wahidiyah yang lainnya hanya mondok saja. Disamping santri dibekali oleh pengetahuan umum dengan adanya TK, SLTP dan SMU, seluruh santri diharuskan mengikuti segala kegiatan yang diadakan dalam pesantren.
Kegiatan yang diadakan dalam Pondok Pesantren Kedunglo adalah jama’ah shalat witir dilanjutkan dengan jama’ah shalat shubuh beserta mujahadahnya (pengamalan shalawat wahidiyah), pagi sampai siang mengikuti pelajaran di SLTP dan SLTA, bagi yang tidak sekolah pagi diadakan pengajian kitab kuning, pada malam harinya semua santri diwajibkan mengikuti sekolah agama atau sekolah diniyah sebagai perbekalan kepada masyarakat setelah ia pulang dari pondok pesantren Kedunglo. Adapun kitab-kitab yang diajarkan seperti fiqh meliputi safinatush sholeh, sulam taufiq, takrib, fatkhul mu’in serta kitab lain yang menunjang. Kitab nahwu seperti jurumiyah, imriti dan alfiah, kitab taukhid meliputi jawahirul kalamiyah, aqidatul kalamiyah.
Setiap kamis malam jum’at KH. Abdul Madjid Ma'roef memberikan pengajian umum kitab Al-Hikam karya sheikh Ibn Aththo’illah di dalam masjid. Santri yang hadir dalam pengajian tersebut tidak hanya dari Pondok Pesantren Kedunglo, namun juga dari wilayah karisidenan Kediri, dari wilayah yang jauh seperti Jawa Barat, Jawa tengah, bahkan luar Jawapun juga datang. Yang intinya pada pengajian itu adalah tabarukan kepada mu’alif shalawat wahidiyah serta untuk semakin memahami tentang ajaran wahidiyah. Waktu untk pengajian kitab al Hikam ini kemudian diganti pada hari ahad pagi, hal ini memperhatikan permintaan dari jama’ah yang mana mereka bisa mengikuti pengajian pada hari ahad, karena bertepatan dengan libur kerja.
Dengan semakin bertambahnya santri yang mondok di pondok pesantren Kedunglo tersebut akhirnya jumlah pondokpun juga semakin bertambah. Adapun penambahan jumlah pondok adalah yang sekarang disebut pondok Al-Fikr dan pondok Al-Hikam.
Perkembangan demi perkembangan telah tersusun, namun usialah yang membatasi. Pada tahun 1989 KH. Abdul Madjid Ma'roef telah kembali ke Rahmatullah.
C. Periode Perkembangan Tahun 1989 – 2005
Setelah KH. Abdul Madjid Ma'roef meninggal dunia, pucuk pimpinan Pondok Pesantren Kedunglo dan perjuangan wahidiyah ( Penyiar Shalawat Wahidiyah Pusat ) digantikan oleh putranya yang bernama KH. Abdul Latief Madjid. Hal ini diputuskan dalam musyawarah keluarga pada tanggal 8 maret 1989 + jam 02.00 Wib. sebelum jenazah KH. Abdul Madjid Ma'roef dikebumikan yang saat itu dibacakan oleh Mayor TNI (Purn) AF. Badri dan M. Machrus.
KH. Abdul Latif Madjid sangat disiplin dalam memimpin pondok pesantren Kedunglo dan Penyiar Sholawat Wahidiyah. Kalau terjadi sesuatu masalah, dia tidak segan-segan turun tangan dan memberikan pemecahan masalah. Sifatnya yang seperti itu menyebabkan sebagian orang yang dari awal kontra dengan dia semakin tidak senang. Disamping itu dia juga mempunyai pemikiran yang modern dalam upaya peningkatan mutu madrasah atau pondok pesantren yang merupakan tuntutan yang makin mendesak dan tidak dapat dihindari.
Era pasar bebas yang dimulai pada tahun 2003 menuntut kemampuan bersaing untuk sumber daya manusia kita. Kemampuan bersaing hanya mungkin muncul bila kita berkualitas. Tanpa kualitas, maka Sumber Daya Manusia kita akan menjadi tenaga kerja dan tenaga lapis bawah dalam era pasar bebas tersebut .
Untuk memberi gambaran madrasah pada masa depan, maka perlu dirumuskan gambaran tentang Visi madrasah dalam alam globalisasi. Visi madrasah tersebut adalah menjadi madrasah sebagai sekolah plus yang berkualitas, berkarakter dan mandiri. Madrasah plus adalah madrasah yang menyiapkan anak didik mampu dalam sains dan teknologi, namun tetap dengan identitas keislamannya. Ini sesuai dengan konsep madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam.
KH. Abdul Latief Madjid mengatakan bahwa seorang santri pondok pesantren Kedunglo harus mempunyai ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan selain ilmu agama. Dia menata managemen pondok pesantren Kedunglo sebagai pelaksana apa yang dicita-citakan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef yang ingin menjadikan santri-santri Kedunglo sebagai wali yang intelek dan intelek yang wali. Maka rehabilitas pondok ditingkatkan.
Pada tahun 1990, KH. Abdul Latief Madjid mendirikan gedung baru untuk SLTP dan SMA dengan menelan biaya + 1 M. Biaya pembangunan gedung lantai dua ini didapat dari para pengamal wahidiyah, alumni Pondok Pesantren Kedunglo dan kas pondok pesantren. Seluruh managemen pondok, SLTP dan SMU Wahidiyah ditingkatkan. Sehingga menjalin hubungan timbal balik antara pengamal wahidiyah, para alumni pondok, dan pondok pesantren Kedunglo.
Managemen berarti kegiatan-kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan pokok yang telah ditentukan dengan menggunakan orang-orang pelaksana. Sedang fungsi dari managemen antara lain untuk perencanaan, pengorganisasian, penggerakan da pengawasan. Managemen pada pokoknya bertujuan untuk mendapatkan hasil kerja yang efektif, yaitu sesuai dengan yang telah direncanakan . Dengan banyaknya tuntutan dari para pengamal disekitar pondok pesantren Kedunglo yang menginginkan anaknya memperoleh pendidikan Wahidiyah yang masih berusia Sekolah Dasar, akhirnya pada tahun 1996 KH. Abdul Latief Madjid mendirikan Sekolah Dasar (SD).
Dengan lebih meningkatnya mutu pendidikan di pondok pesantren Kedunglo, maka pengamal wahidiyah tidak meragukan lagi untuk menyekolahkan putra-putrinya di TK, SD, SLTP dan SMA Wahidiyah. Santri pondok pesantren Kedunglo semakin lama semakin meningkat dengan pesat. Dan peningkatan sarana dan prasaranapun dicukupi. Santri diharapkan hanya untuk belajar. Misalnya kebutuhan makan dan minum terorganisir dengan baik dengan terbentuknya catering pondok pada akhir tahun 1996.
Sistem yang dianut pondok pesantren Kedunglo menggunakan sistem konfensional atau adat. Sehingga pada tahun 1997 KH. Abdul Latief Madjid melegalkan satu bentuk yayasan perjuangan Wahidiyah dan pondok pesantren Kedunglo yang telah didaftarkan pada Akta No. 05 tahun 1997 pada Tambahan Berita Negara (TBN), yaitu Nomor : I/AD/1998 BN. No. 1/98.
Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo adalah lembaga pusat kegiatan wahidiyah yang mempunyai cabang di seluruh pelosok indonesia dan luar negeri. Inilah yang mengolah sepenuhnya para santri yang berada di pondok pesantren Kedunglo dan para pengamal shalawat wahidiyah. Di lembaga ini terdapat 11 Departemen yang masing-masing membidangi dalam acuan organisasi untuk meluaskan, membina, menyiarkan Sholawat Wahidiyah kepada masyarakat yang masing-masing departemen di pimpin oleh seorang Pramu . Adapun ke sebelas Departemen tersebut adalah sebagai berikut :
1. Departemen Urusan Wilayah
2. Departemen Penyiaran dan Pembinaan Wahidiyah (DPPW)
3. Departemen Pembina Remaja Wahidiyah (DPRW)
4. Departemen Pembina Wanita Wahidiyah (DPWW)
5. Departemen Pembina Kanak-kanak Wahidiyah (DPKW)
6. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wahidiyah (Depdikbudwa)
7. Departemen Keuangan Wahidiyah (DKW)
8. Departemen Koperasi Wahidiyah (Depkop)
9. Departemen Perlengkapan Wahidiyah
10. Badan Penyalur Bantuan Koperasi Wahidiyah
Saat ini telah terbentuk cabang kepengurusan Yayasan Perjuangan Wahidiyah di 15 propinsi dan ratusan kota/kabupaten di wilayah Indonesia. pada perkembangannya di Luar Negeri pun sudah banyak yang mengamalkan Shalawat Wahidiyah seperti di Brunai Darussalam, Malaysia, Australia, Thailand, Hongkong, Saudi Arabia, Singapura, Amerika, Perancis yang penyebarannya sebagian besar dibawa oleh para TKI.
Untuk mencetak kader-kader Wahidiyah sejak dini seperti yang dicita-citakan oleh KH. Abdul Madjid Ma'roef, KH. Abdul Latief Madjid pada tahun 1998 mendirikan pondok pesantren kanak-kanak, yang bertujuan untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia yang berwawasan ilmu pengetahuan dan teknologi dan bertaqwa berlandaskan ajaran islam.
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin menuntut SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas, pada tahun 1998 KH. Abdul Latief Madjid mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Wahidiyah (STIEWA) dengan jurusan Menejemen dan Akuntansi, dan pada tahun 2002 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) dengan jurusan Ahwalus Syahsiyah dan KH. Abdul Latief Madjid juga ingin mendirikan Sekolah Tinggi Teknik (STT) dengan jurusan Teknik Informasi dan Teknik Industri untuk menambah kualitas SDM.
Pada masa ini pula nama Kedunglo mendapatkan tambahan gelar al Munadzdzarah dari pengasuh pengasuh perjuangan wahidiyah dan pondok pesantren kedunglo sehingga menjadi Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah.
Pada tanggal 22 Rajab 1426 / 27 Agustus 2005 di Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah telah diresmikan laboratorium bahasa dan sedang dipersiapkan pula laboratorium komputer. Dengan bertambahnya sarana pendidikan umum di pondok pesantren Kedunglo, maka jumlah santri juga semakin lama semakin bertambah.
Pada tahun 1995 jumlah santri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah sekitar 220-an, sementara pada tahun 2005 jumlah santri sudah mencapai 1.500-an. Ini adalah santri yang statusnya tinggal di dalam pesantren, sedangkan santri yang tidak bertempat tinggal dalam pesantren atau bisa diistilahkan sebagai santri kalong pun juga banyak.
Dengan perjuangan yang begitu besar yang dilakukan oleh KH. Abdul Latief Madjid. Akhirnya Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan pondok pesantren Kedunglo dapat berkembang dengan pesat dan sejajar dengan organisasi-organisasi lain sampai sekarang.
Keadaan Masjid pada periode perkembangan ini masih tetap seperti semula. Akan tetapi untuk lokasi pondok semakin luas, dengan semakin banyaknya santri yang mondok, maka jumlah lokasi di pondok pesantren Kedunglo juga semakin bertambah. Sampai sekarang jumlah lokasi yang ada di pondok pesantren Kedunglo ada 10 lokasi, adapun nama-namanya adalah sebagai berikut :
Pondok Putra ada 4 Asrama :
1. Asrama Al Ma'roef
2. Asrama Al Fikr
3. Asrama Al Hikam
4. Asrama Al Mundir
Pondok Putri ada 5 asrama :
1. Asrama Al Hasanah
2. Asrama Al Fatimiyah
3. Asrama Al Ma'rifah
4. Asrama An Nadhrah
5. Asrama Al Jadid
Serta pondok kanak-kanak ada 1 lokal. Dalam perkembangannya telah dibangun beberapa asrama untuk para santri yang setiap tahunnya terus bertambah.
AKTIVITAS PONDOK PESANTREN KEDUNGLO
A. Bidang Agama
1. Madrasah Diniyah
Semua santri di Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah diwajibkan mengikuti pelajaran di madrasah diniyah. Madrasah diniyah ini dibagi menjadi : Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs.), dan Madrasah Aliyah (MA).
2. Pengamalan Shalawat Wahidiyah
Dalam bidang agama, yang paling tampak sekali di pondok pesantren Kedunglo adalah adanya pengamalan shalawat wahidiyah. Dengan adanya shalawat wahidiyah ini banyak umat yang berbondong-bondong datang ke pondok pesantren Kedunglo untuk bermujahadah (istilah Wahidiyah) atau tabarukan (ngalap barokah).
Berbagai jalan ditempuh manusia untuk memenuhi kebutuhan batinnya seperti shalat, zikir dan itu merupakan latihan jiwa. Menurut Imam al Ghozali bahwa jiwa itu dapat diolah, diubah, dikuasai, sehingga bermanfaat bagi seseorang yaitu dapat berakhlak mulia dan terpuji serta ada hubungan erat antara anggota badan dan perbuatan dengan jiwa atau hati manusia.
Untuk melatih dan mengolah jiwa (hati) agar senantiasa ingat kepada Allah diperlukan cara-cara tertentu. Dalam ilmu tasawuf, ilmu itu dikenal dengan thareqat. Menurut Aboe Bakar Atjeh, thareqat adalah jalan, petunjuk dalam melakukan ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh nabi.
Jalan yang ditempuh oleh shalawat wahidiyah untuk melatih dan mengolah jiwa (hati) agar senantiasa ingat kepada Allah dengan jalan mujahadah. Mujahadah berarti berjuang, bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsu untuk diarahkan Ma'rifat kepada Allah Swt.
3. Qiyamul Lail
Semua santri wajib bangun malam untuk untuk melaksanakan shala tahajut, shalat witir berjama’ah dan dilanjutkan dengan jama’ah shalat shubuh beserta mujahadahnya. Hal ini dimaksudkan untuk melatih santri agar terbiasa dengan amalan sunah yang sangat dianjurkan sehingga bisa terbawa kebiasaan tersebut sampai dirumah.
4. Setiap selesai jama’ah sholat maghrib, semua santri melaksanakan tadarus al Qur’an.
5. Kamis malam jum’at semua santri membaca surat Yasin, Tahlil dan diba’iyah, juga melaksanakan muhadhoroh sebagai sarana lahitah pidato.
6. Minggu siang pengajian kitab Al-Hikam. Dimana Pengajian kitab Al Hikam inidiberikan langsung oleh Kyai atau Pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo, yang peserta dari pengajian tersebut tidak hanya berasal dari santri saja akan tetapi dari pengamal wahidiyah yang datang dari berbagai daerah, seperti : Kediri, Tulug Agung, Nganjuk, Blitar, Jombang, Surabaya, bahkan dari Jawa tengah, Jawa Barat ataupun dari luar Jawa.
B. Bidang Pendidikan
Sekian lama pesantren dipandang sebagai lembaga eksklusif, sampai akhirnya mengalami perubahan yang sangat terbuka dan menggembirakan. Kini saatnya orang berfikir bahwa sekolah an sich tidak mungkin dapat diandalkan untuk mendidik manusia secara utuh. Banyak yang mengeluh bahwa akhlak dan perilaku pelajar dewasa ini cenderung merosot dengan berbagai bentuk tindakannya yang merisaukan banyak pihak. Karena itu, patut dipikirkan kemungkinan “pesantren masuk sekolah” sesudah “sekolah masuk pesantren”. Jika pesantren sudah bersedia menerima sekolah, mungkinkah sebagaimana sedang diperlihatkan oleh beberapa sekolah tertentu . Misalnya saja pondok pesantren Kedunglo ini. Di dalam pondok pesantren Kedunglo ini terdapat pendidikan umum. Akan tetapi pendidikan yang bersifat tradisional tetap diberikan.
Dalam kurun waktu yang panjang, pesantren mengkonsumsi Kitab Kuning sebagai pedoman berfikir dan bertingkah laku. Ia telah menjadi bagian intern dalam pesantren. Menurut masyarakat pesantren, kitab Kuning merupakan formulasi final dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Sunah Nabi SAW .
Menurut bukunya Karel A. Steenbrink, bahwa pengajian kitab tradisonal terbagi menjadi dua, santri harus menyediakan waktu untuk studi bahasa Arab dan sesudah itu mulai mempelajari isi kitab-kitab agama yang merupakan unsur paling penting .
Begitu juga di dalam pondok pesantren Kedunglo yang memberikan studi bahasa Arab dan mempelajari kitab-kitab agama. Pendidikan agama di pondok pesantren kedunglo diberikan pada saat sekolah diniyah pada malam hari. Adapun pelajaran yang diberikan antara lain adalah : fiqh, ‘aqidah, nahwu, sharf, balaghah, dan masih banyak lagi.
Dunia pendidikan kita dewasa ini masih berada dalam taraf yang boleh dikata kritis. Oleh karena itu, seluruh kemampuan untuk membuka lembaga-lembaga pendidikan berupa sekolah harus digali terus menerus dari masyarakat, baik yang berasal dari pemerintah maupun non pemerintah. Untuk menggali kemungkinan mendirikan sekolah lebih banyak inilah antara lain dapat ditafsirkan salah satu tujuan pelaksanaan sebuah kurikulum mendirikan sekolah-sekolah baru dalam jumlah besar dapat ditempuh melalui ajakan serius pada pesantren untuk mendirikan sekolah umum di kalangan pesantren seperti : SD, SLTP, SMA dan Sekolah Tinggi dapat diserahkan pengelolaannya dari segi fisik dan material pada pesantren.
Berbagai upaya dilakukan dalam mengantisipasi keadaan krisis dan moral, upaya yang paling efektif adalah dengan proses sosialisasi melalui lembaga pendidikan formal.
Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo menyadari betapa keberadaan lembaga pendidikan sangat diperlukan untuk mencetak pejuang-pejuang handal dalam segala lapisan kehidupan yang bermoral dan beretika, berkepribadian tangguh serta mempunyai integritas yang tinggi didalam meneruskan Perjuangan Fafirruu Ilallah wa Rosulihi SAW.
Profil lembaga pendidikan Wahidiyah :
1. Motto Pendidikan Wahidiyah, yaitu “Mencetak wali yang intelek, intelek yang wali” atau mencetak intelektual yang ulama’, ulama’ yang intelek.”
2. Landasan Pendidikan Wahidiyah/islami.
3. Konsepsi atau Model Pendidikan Wahidiyah/islami.
Tujuan umum yang ingin dicapai oleh pendidikan Wahidiyah adalah wali yang intelek, intelek yang wali atau intelektual yang ulama’, ulama’ yang intelek. Dengan istilah umum, keluaran Pendidikan Wahidiyah adalah Insan berakhlakul karimah, berprestasi yang sekaligus terampil serta siap menjadi pejuang Fafirruu Ilallah wa Rosulihi SAW.
Proses pendidikan Wahidiyah menerapkan pola terpadu antara pendidikan umum dengan pendidikan pondok pesantren serta diberi bekal keprofesian agar lulusannya siap melakukan pengabdian di masyarakat.
Basis utama sebagai masukan calon siswa pendidikan Wahidiyah adalah seluruh keluarga pengamal shalawat wahidiyah yang tersebar diseluruh tanah air, bahkan telah merambat ke beberapa negera luar negeri.
Pendidikan Wahidiyah dalam perkembangannya, TK (berdiri tahun 1985), SD (berdiri tahun 1996), SLTP (berdiri tahun 1981), SMU (berdiri tahun 1981), STIE Wahidiyah (berdiri tahun 1998), STIS Wahidiyah (tahun 2002) yang pada akhirnya pada tahun 2010, Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo mendirikan sebuah universitas yang bernama UNIVERSITAS WAHIDIDIYAH yang kampusnya berada dilingkungan Pondok Pesantren Kedunglo al Munadhdharah Kediri. Perkembangan pendidikan diatas tidak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh pramu pendidikan Wahidiyah dibantu oleh staf pendidikan dalam kepanitiaan penerimaan siswa atau mahasiswa baru.
C. Bidang Ekonomi
Dalam upaya meningkatkan ekonomi pondok pesantren Kedunglo, di Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah berdiri koperasi wahidiyah sebagai gerakan ekonomi rakyat (pengamal shalawat wahidiyah) atau sebagi peran serta dalam mewujudkan masyarakat yang sadar kepada Allah wa Rosulihi SAW, yang maju adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu koperasi wahidiyah perlu membangun dirinya agar menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip koperasi, sehingga mampu berperan menjadi soko guru perekonomian Nasional.
Kegiatan mujahadah kubro yang dilaksanakan dua kali setahun, yaitu bulan muharram dan rajab, ternyata bisa membangkitkan perekonomian rakyat, terutama di Ds. Bandar Lor, Kediri.
Kegiatan yang dilaksanakan selama empat hari empat malam dan diikuti oleh ratusan ribu pengamal wahidiyah dari segala penjuru ini telah membangkitkan perekonomian warga sekitar. Mulai dari jasa parkir, tidak kurang dari 1.500-an kendaraan yang parkir saat acara ini berlangsung, jasa MCK, warung makan, penginapan dan lain sebagainya.
D. Bidang Sosial
Dalam bidang sosial ini Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo menitik beratkan pada bidang penyiaran shalawat wahidiyah yang sangat dibutuhkan oleh umat masyarakat pada saat ini .
Penyiaran Shalawat wahidiyah ini dilakukan melalui beberapa cara, seperti dengan mengadakan mujahadah usbu’iyah, mujahadah syahriah, rubu’ussanah, mujahadah. Pondok Pesantren Kedunglo juga mengadakan kegiatan lomba-lomba yang bernuansakan wahidiyah/islami yang dapat diikuti juga oleh masyarakat non wahidiyah, pembinaan-pembinaan da’i-da’iyah wahidiyah seperti up-grade, training dan masih banyak lagi .
selanjutnya :