Thursday, 18 July 2013

PONDOK PESANTREN KEDUNGLO KEDIRI - JAWA TIMUR DAN SHALAWAT WAHIDIYAH (Part. 3)

Oleh : Muhammad Arif
Lanjutan dari Part. 2 - Kisah sekilas, KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs. wa Ra.
 
MASA PERKEMBANGAN
PONDOK PESANTREN KEDUNGLO AL MUNADHDHARAH KEDIRI JAWA TIMUR

Untuk dapat mengetahui perkembangan suatu pondok pesantren, tentunya kita harus dapat memahami perubahan-perubahan di dalam pondok pesantren . Dan seharusnya diketahui terlebih dahulu sebab-sebab yang mendorong terjadinya perubahan itu sendiri.
Perubahan-perubahan itu dapat kita lihat pada pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kyai yang merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren. Ini berarti bahwa suatu lembaga  pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut, akan berubah statusnya menjadi pesantren . Dengan melihat perubaha-perubahan dari lima elemen itu maka nantinya kita dapat mengetahui perkembangan dari pondok pesantren. Di dalam perkembangan Pondok Pesantren Kedunglo ini, kita kelompokkan dalam tiga (3) periode, yaitu :


A.    Periode Awal tahun 1901 – 1955

 
Setelah hampir tiga ratus tahun umat Islam melakukan perjuangan menentang kolonial Salibiyah, yang berakhir dengan kekalahan, maka pada tahun-tahun tersebut umat Islam mencoba bangkit kembali. Karena medan perjuangan telah mengalami banyak perubahan, maka pola perjuanganpun mengalami perubahan, walau sasaran utama tetap sama yaitu tegaknya negara Islam, dimana syari’at Islam dapat dilaksanakan secara utuh . Maka dengan kondisi seperti itu pola perjuangan dari umat Islam berubah. Yaitu banyak yang mendirikan organisasi-organisasi ke Islaman. Organisasi-organisasi ke-Islaman didirikan karena pada saat itu ekspansi Kristenisasi sangat mencolok, yang dilakukan oleh missi dan zending Kristen (Katolik dan Protestan) dengan bantuan sepenuhnya oleh penguasa kolonial Belanda . Dengan kondisi masyarakat yang terombang-ambing seperti itu maka banyak juga yang mendirikan pondok pesantren.


Pada tahun 189… berdirilah pondok pesantren Kedunglo yang didirikan oleh KH. Mohammad Ma'roef. Karena tempat didirikannya pondok saat itu sering terkena banjir, maka pada tahun 1901 lokasi pondok dipindahkan keselatan lokasi yang lama ( + 50 m ). Periode ini dikatakan periode awal, karena periode inilah yang mengawali kehidupan baru di dalam pondok pesantren Kedunglo yang bertujuan menyiarkan dan mengembangkan ajaran Islam, artinya bahwa pondok pesantren membina akhlaq, tingkah laku dan perbuatan yang dilaksanakan masyarakat berdasarkan pada ajaran Islam, sehingga terciptalah masyarakat yang Islami. Karena melihat kondisi lingkungan sekitar yang masyarakatnya lebih dekat dengan adat istiadat atau lebih banyak menganut kepada aliran-aliran kebatinan. 


Pada saat itu pendidikan agama belum banyak berkembang dan pesantren inilah yang berfungsi sebagai sarana untuk menyiarkan agama islam secara utuh dalam masyarakat Ds. Bandar Lor. 


Konon KH. Mohammad Ma'roef mempunyai temperamen yang keras. Kalau dia sedang marah pada seseorang ya marah betul. Bahkan kalau dia sedang marah dan sempat mengeluarkan kata-kata celaka, maka orang yang dimarahi akan celaka betul. Akan tetapi dia sangat terbuka. Segala peristiwa yang terjadi pada dirinya hampir pasti diceritakan kepada keluarga dan murid-murid kesayangannya mengetahui perjalanan hidup gurunya dari yang sifatnya umum sampai pribadi.


Setelah pondok pesantren Kedunglo didirikan akhirnya berbondong-bondonglah santri untuk mengaji, akan tetapi pada periode awal tersebut jumlah santri belum begitu banyak. Sistem pengajarannya menggunakan struktur, metode dan literature tradisional. Pendidikan pengajaran tradisional dapat berupa pendidikan formal di sekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah (lingkaran) dalam bentuk pengajian weton dan sorogan. Ciri utama dari pengajian tradisional ini adalah cara pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan harfiah (letterlijk) atas suatu kitab (teks) tersebut, untuk kemudian dilanjutkan dengan pembacaan kitab (teks) lain . Kitab-kitab yang diberikan kepada santri adalah kitab-kitab sebagaimana yang ada di pondok-pondok salaf lain yaitu mengacu pada bidang tauhid serta do’a-do’a yang menjadi tren pada saat itu, seperti tahlil, wirid-wirid dan masih banyak lagi. Tetapi sat itu di Pondok Pesantren Kedunglo belum didirikan madrasah untuk sarana belajar, karena santri masih sedikit, maka pengajaran santri langsung ditangani sang pengasuh pondok.


Adapun fasilitas pondok pada saat itu masih sangat terbatas sekali. Misalnya jumlah pondok, mengingat bahwa santri yang mondoknya masih sangat terbatas. Adapun pondok pada zaman KH. Mohammad Ma'roef ini adalah pondok yang sekarang diberi nama Al  Ma'roef dan Al Mundir. Keadaan masjid yang ada di pondok pesantren Kedunglo pada saat itu sampai saat ini masih tetap belum ada perubahan akan tetapi sudah ada penambahan-penambahan.


B.    Periode Pertengahan, Tahun 1955 – 1989


Pada periode ini dikatakan masa pertengahan karena berada diantara masa awal berdiri dan masa perkembangan. Pada periode ini pucuk kepemimpinan berganti. Setelah KH. Mohammad Ma'roef meninggal dunia pada tahun 1955 lalu digantikan oleh putranya yaitu KH. Abdul Madjid  Ma'roef. Dia  mempunyai kepribadian yang sangat mempesona. Kalau bicara tenang dan santai disertai senyum, dia juga sering melontarkan kalimat-kalimat canda, dia berbicara dengan jawami kalam, artinya kata-kata yang dituturkannya mengandung makna yang banyak. Dia mengucapkan kata-kata dengan jelas, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki. Dia memperhatikan sungguh-sungguh kepada orang yang berbicara dengannya.


KH. Abdul Madjid Ma'roef juga terkenal sangat dermawan. Tidak jarang tamunya yang sowan dan nampak tidak punya ongkos buat pulang diberi uang olehnya. Bila marah, dia cuma diam. Hanya roman mukanya sedikit berubah. Kalau dia mau berbicara pertanda bahwa marahnya sudah hilang dan tidak terjadi apa-apa.


Pada periode pertengahan ini, santri masih tetap. Dalam artian belum begitu banyak yang mondok. Sampai pada tahun 1963 muncullah Shalawat Wahidiyah yang ditaklif langsung oleh KH. Abdul Madjid  Ma'roef. Pro dan kontra saat itu terjadi namun tidak begitu banyak hambatan, yang akhirnya dapat mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai sekarang ini. 


Setapak demi setapak langkah KH. Abdul Madjid  Ma'roef menuju suasana yang lebih terang, ini terbukti semakin banyaknya peningkatan-peningkatan. Misalnya banyaknya santri yang berdatangan di pondok pesantren Kedunglo untuk mondok. Dan setiap tahunnya jumlah santri selalu meningkat. Akan tetapi sistem pendidikan tradisional yang digunakan adalah sistem pengajaran semacam asrama seakan-akan mereka hanya butuh tempat saja, karena banyak yang sekolah umum di luar pondok.


Akhirnya sebagaimana yang telah dikatakan oleh KH. Abdul Madjid  Ma'roef, sesuai dengan perkembangan zaman, dia ingin mencetak wali yang intelek dan intelek yang wali. Maka dikumpulkanlah orang-orang dekat untuk mewujudkan cita-citanya. Pada pertengahan era tujuh puluhan di Pondok Pesantren Kedunglo didirikan madrasah diniyah sebagai sarana belajar santri tentang berbagai disiplin ilmu agama. 


Serta pada tahun 1982 dibuatlah sekolah umum di dalam lingkungan pesantren, yaitu didirikannya SLTP dan SLTA, serta pada tahun 1985 didirikan TK. Pada saat itu gedung dan perlengkapan yang dimiliki masih sangat terbatas sekali, lokasinya ditempatkan di depan Masjid atau disekeliling pondok pesantren Kedunglo. Dengan adanya pendidikan umum itu disambut antusias oleh pengamal Wahidiyah yang ingin tabaruk atau yang ingin keberkatan, keselamatan, kesentosaan  kepada mu’alif Shalawat Wahidiyah. Sehingga membawa pondok pesantren mengalami kemajuan. Sistem pendidikan yang dianut di Pondok Pesantren Kedunglo memakai sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan salafi ( tradisional ) serta kurikulum nasional. Karena sistem pendidikan di SLTP dan SLTA mengikuti pada sistem pendidikan Nasional.


 Tenaga pengajar di dalam pendidikan wahidiyah itu diajar oleh guru-guru yang juga para pengamal wahidiyah dan para simpatisan wahidiyah yang mengajar di sekolah negeri di wilayah karisidenan Kediri. Lama-kelamaan jumlah santri meningkat sekitar + 400 orang santri putra dan putri yang sebagian besar hampir 95 % masuk di sekolah wahidiyah yang lainnya hanya mondok saja. Disamping santri dibekali oleh pengetahuan umum dengan adanya TK, SLTP dan SMU, seluruh santri diharuskan mengikuti segala kegiatan yang diadakan dalam pesantren. 


Kegiatan yang diadakan dalam Pondok Pesantren Kedunglo adalah jama’ah shalat witir dilanjutkan dengan jama’ah shalat shubuh beserta mujahadahnya (pengamalan shalawat wahidiyah), pagi sampai siang mengikuti pelajaran di SLTP dan SLTA, bagi yang tidak sekolah pagi diadakan pengajian kitab kuning, pada malam harinya semua santri diwajibkan mengikuti sekolah agama atau sekolah diniyah sebagai perbekalan kepada masyarakat setelah ia pulang dari pondok pesantren Kedunglo. Adapun kitab-kitab yang diajarkan seperti fiqh meliputi safinatush sholeh, sulam taufiq, takrib, fatkhul mu’in serta kitab lain yang menunjang. Kitab nahwu seperti jurumiyah, imriti dan alfiah, kitab taukhid meliputi jawahirul kalamiyah, aqidatul kalamiyah. 


Setiap kamis malam jum’at KH. Abdul Madjid  Ma'roef memberikan pengajian umum kitab Al-Hikam karya sheikh Ibn Aththo’illah di dalam masjid. Santri yang hadir dalam pengajian tersebut tidak hanya dari Pondok Pesantren Kedunglo, namun juga dari wilayah karisidenan Kediri, dari wilayah yang jauh seperti Jawa Barat, Jawa tengah, bahkan luar Jawapun juga datang. Yang intinya pada pengajian itu adalah tabarukan kepada mu’alif shalawat wahidiyah serta untuk semakin memahami tentang ajaran wahidiyah. Waktu untk pengajian kitab al Hikam ini kemudian diganti pada hari ahad pagi, hal ini memperhatikan permintaan dari jama’ah yang mana mereka bisa mengikuti pengajian pada hari ahad, karena bertepatan dengan libur kerja. 


Dengan semakin bertambahnya santri yang mondok di pondok pesantren Kedunglo tersebut akhirnya jumlah pondokpun juga semakin bertambah. Adapun penambahan jumlah pondok adalah yang sekarang disebut pondok Al-Fikr dan pondok Al-Hikam.
Perkembangan demi perkembangan telah tersusun, namun usialah yang membatasi. Pada tahun 1989 KH. Abdul Madjid  Ma'roef telah kembali ke Rahmatullah.


C.    Periode Perkembangan Tahun 1989 – 2005

 
Setelah KH. Abdul Madjid  Ma'roef meninggal dunia, pucuk pimpinan Pondok Pesantren Kedunglo dan perjuangan wahidiyah ( Penyiar Shalawat Wahidiyah Pusat ) digantikan oleh putranya yang bernama KH. Abdul Latief Madjid. Hal ini diputuskan dalam musyawarah keluarga pada tanggal 8 maret 1989 + jam 02.00 Wib. sebelum jenazah KH. Abdul Madjid Ma'roef dikebumikan yang saat itu dibacakan oleh Mayor TNI (Purn) AF. Badri dan M. Machrus. 


KH. Abdul Latif Madjid sangat disiplin dalam memimpin pondok pesantren Kedunglo dan Penyiar Sholawat Wahidiyah. Kalau terjadi sesuatu masalah, dia tidak segan-segan turun tangan dan memberikan pemecahan masalah. Sifatnya yang seperti itu menyebabkan sebagian orang yang dari awal kontra dengan dia semakin tidak senang. Disamping itu dia juga mempunyai pemikiran yang modern dalam upaya peningkatan mutu madrasah atau pondok pesantren yang merupakan tuntutan yang makin mendesak dan tidak dapat dihindari. 


Era pasar bebas yang dimulai pada tahun 2003 menuntut kemampuan bersaing untuk sumber daya manusia kita. Kemampuan bersaing hanya mungkin muncul bila kita berkualitas. Tanpa kualitas, maka Sumber Daya Manusia kita akan menjadi tenaga kerja dan tenaga lapis bawah dalam era pasar bebas tersebut .


Untuk memberi gambaran madrasah pada masa depan, maka perlu dirumuskan gambaran tentang Visi madrasah dalam alam globalisasi. Visi madrasah tersebut adalah menjadi madrasah sebagai sekolah plus yang berkualitas, berkarakter dan mandiri. Madrasah plus adalah madrasah yang menyiapkan anak didik mampu dalam sains dan teknologi, namun tetap dengan identitas keislamannya. Ini sesuai dengan konsep madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam. 


KH. Abdul Latief Madjid mengatakan bahwa seorang santri pondok pesantren Kedunglo harus mempunyai ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan selain ilmu agama. Dia menata managemen pondok pesantren Kedunglo sebagai pelaksana apa yang dicita-citakan oleh KH. Abdul  Madjid  Ma'roef yang ingin menjadikan santri-santri Kedunglo sebagai wali yang intelek dan intelek yang wali. Maka rehabilitas pondok ditingkatkan.

Pada tahun 1990, KH. Abdul Latief Madjid mendirikan gedung baru untuk SLTP dan SMA dengan menelan biaya + 1 M. Biaya pembangunan gedung lantai dua ini didapat dari para pengamal wahidiyah, alumni Pondok Pesantren Kedunglo dan kas pondok pesantren. Seluruh managemen pondok, SLTP dan SMU Wahidiyah ditingkatkan. Sehingga menjalin hubungan timbal balik antara pengamal wahidiyah, para alumni pondok, dan pondok pesantren Kedunglo. 


Managemen berarti kegiatan-kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan pokok yang telah ditentukan dengan menggunakan orang-orang pelaksana. Sedang fungsi dari managemen antara lain untuk perencanaan, pengorganisasian, penggerakan da pengawasan. Managemen pada pokoknya bertujuan untuk mendapatkan hasil kerja yang efektif, yaitu sesuai dengan yang telah direncanakan  . Dengan banyaknya tuntutan dari para pengamal disekitar pondok pesantren Kedunglo yang menginginkan anaknya memperoleh pendidikan Wahidiyah yang masih berusia Sekolah Dasar, akhirnya pada tahun 1996 KH. Abdul Latief Madjid mendirikan Sekolah Dasar (SD).


Dengan lebih meningkatnya mutu pendidikan di pondok pesantren Kedunglo, maka pengamal wahidiyah tidak meragukan lagi untuk menyekolahkan putra-putrinya di TK, SD, SLTP dan SMA Wahidiyah. Santri pondok pesantren Kedunglo semakin lama semakin meningkat dengan pesat. Dan peningkatan sarana dan prasaranapun dicukupi. Santri diharapkan hanya untuk belajar. Misalnya kebutuhan makan dan minum terorganisir dengan baik dengan terbentuknya catering pondok pada akhir tahun 1996.
Sistem yang dianut pondok pesantren Kedunglo menggunakan sistem konfensional atau adat. Sehingga pada tahun 1997 KH. Abdul Latief Madjid melegalkan satu bentuk yayasan perjuangan Wahidiyah  dan pondok pesantren Kedunglo yang telah didaftarkan pada Akta No. 05 tahun 1997 pada Tambahan Berita Negara (TBN), yaitu Nomor : I/AD/1998 BN. No. 1/98.


Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo adalah lembaga pusat kegiatan wahidiyah yang mempunyai cabang di seluruh pelosok indonesia dan luar negeri. Inilah yang mengolah sepenuhnya para santri yang berada di pondok pesantren Kedunglo dan para pengamal shalawat wahidiyah. Di lembaga ini terdapat 11 Departemen yang masing-masing membidangi dalam acuan organisasi untuk meluaskan, membina, menyiarkan Sholawat Wahidiyah kepada masyarakat yang masing-masing departemen di pimpin oleh seorang Pramu . Adapun ke sebelas Departemen tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Departemen Urusan Wilayah
2.    Departemen Penyiaran dan Pembinaan Wahidiyah (DPPW)
3.    Departemen Pembina Remaja Wahidiyah (DPRW)
4.    Departemen Pembina Wanita Wahidiyah (DPWW)
5.    Departemen Pembina Kanak-kanak Wahidiyah (DPKW)
6.    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wahidiyah (Depdikbudwa)
7.    Departemen Keuangan Wahidiyah (DKW)
8.    Departemen Koperasi Wahidiyah (Depkop)
9.    Departemen Perlengkapan Wahidiyah
10.    Badan Penyalur Bantuan Koperasi Wahidiyah


Saat ini telah terbentuk cabang kepengurusan Yayasan Perjuangan Wahidiyah di 15 propinsi dan ratusan kota/kabupaten di wilayah Indonesia. pada perkembangannya di Luar Negeri pun sudah banyak yang mengamalkan Shalawat Wahidiyah seperti di Brunai Darussalam, Malaysia, Australia, Thailand, Hongkong, Saudi Arabia, Singapura, Amerika, Perancis yang penyebarannya sebagian besar dibawa oleh para TKI.


Untuk mencetak kader-kader Wahidiyah sejak dini seperti yang dicita-citakan oleh KH. Abdul  Madjid  Ma'roef, KH. Abdul Latief Madjid pada tahun 1998 mendirikan pondok pesantren kanak-kanak, yang bertujuan untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia yang berwawasan ilmu pengetahuan dan teknologi dan bertaqwa berlandaskan ajaran islam.


Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin menuntut SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas, pada tahun 1998 KH. Abdul Latief Madjid mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Wahidiyah (STIEWA) dengan jurusan Menejemen dan Akuntansi, dan pada tahun 2002 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) dengan jurusan Ahwalus Syahsiyah dan KH. Abdul Latief Madjid juga ingin mendirikan Sekolah Tinggi Teknik (STT) dengan jurusan Teknik Informasi dan Teknik Industri untuk menambah kualitas SDM.


Pada masa ini pula nama Kedunglo mendapatkan tambahan gelar al Munadzdzarah  dari pengasuh pengasuh perjuangan wahidiyah dan pondok pesantren kedunglo sehingga menjadi Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah.


Pada tanggal 22 Rajab 1426 / 27 Agustus 2005 di Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah telah diresmikan laboratorium bahasa dan sedang dipersiapkan pula laboratorium komputer. Dengan bertambahnya sarana pendidikan umum di pondok pesantren Kedunglo, maka jumlah santri juga semakin lama semakin bertambah.


Pada tahun 1995 jumlah santri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah sekitar 220-an, sementara pada tahun 2005 jumlah santri sudah mencapai 1.500-an. Ini adalah santri yang statusnya tinggal di dalam pesantren, sedangkan santri yang tidak bertempat tinggal dalam pesantren atau bisa diistilahkan sebagai santri kalong pun juga banyak.


Dengan perjuangan yang begitu besar yang dilakukan oleh KH. Abdul Latief Madjid. Akhirnya Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan pondok pesantren Kedunglo dapat berkembang dengan pesat dan sejajar dengan organisasi-organisasi lain sampai sekarang.
Keadaan Masjid pada periode perkembangan ini masih tetap seperti semula. Akan tetapi untuk lokasi pondok semakin luas, dengan semakin banyaknya santri yang mondok, maka jumlah lokasi di pondok pesantren Kedunglo juga semakin bertambah. Sampai sekarang jumlah lokasi yang ada di pondok pesantren Kedunglo ada 10 lokasi, adapun nama-namanya adalah sebagai berikut :


Pondok Putra ada 4 Asrama :
1.    Asrama Al Ma'roef
2.    Asrama Al Fikr
3.    Asrama Al Hikam
4.    Asrama Al Mundir
Pondok Putri ada 5  asrama :
1.    Asrama Al Hasanah
2.    Asrama Al Fatimiyah
3.    Asrama Al Ma'rifah
4.    Asrama An Nadhrah
5.    Asrama Al Jadid
Serta pondok kanak-kanak ada 1 lokal. Dalam perkembangannya telah dibangun beberapa asrama untuk para santri yang setiap tahunnya terus bertambah.


AKTIVITAS PONDOK PESANTREN KEDUNGLO


A.    Bidang Agama


1.    Madrasah Diniyah
Semua santri di Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah diwajibkan mengikuti pelajaran di madrasah diniyah. Madrasah diniyah ini dibagi menjadi : Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs.), dan Madrasah Aliyah (MA).


2.    Pengamalan Shalawat Wahidiyah
Dalam bidang agama, yang paling tampak sekali di pondok pesantren Kedunglo adalah adanya pengamalan shalawat wahidiyah. Dengan adanya shalawat wahidiyah ini banyak umat yang berbondong-bondong datang ke pondok pesantren Kedunglo untuk bermujahadah (istilah Wahidiyah) atau tabarukan (ngalap barokah).


Berbagai jalan ditempuh manusia untuk memenuhi kebutuhan batinnya seperti shalat, zikir dan itu merupakan latihan jiwa. Menurut Imam al Ghozali bahwa jiwa itu dapat diolah, diubah, dikuasai, sehingga bermanfaat bagi seseorang yaitu dapat berakhlak mulia dan terpuji serta ada hubungan erat antara anggota badan dan perbuatan dengan jiwa atau hati manusia. 


Untuk melatih dan mengolah jiwa (hati) agar senantiasa ingat kepada Allah diperlukan cara-cara tertentu. Dalam ilmu tasawuf, ilmu itu dikenal dengan thareqat. Menurut Aboe Bakar Atjeh, thareqat adalah jalan, petunjuk dalam melakukan ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh nabi. 


Jalan yang ditempuh oleh shalawat wahidiyah untuk melatih dan mengolah jiwa (hati) agar senantiasa ingat kepada Allah dengan jalan mujahadah. Mujahadah berarti berjuang, bersungguh-sungguh memerangi hawa nafsu untuk diarahkan Ma'rifat kepada Allah Swt. 


3.    Qiyamul Lail
Semua santri wajib bangun malam untuk untuk melaksanakan shala tahajut, shalat witir berjama’ah dan dilanjutkan dengan jama’ah shalat shubuh beserta mujahadahnya. Hal ini dimaksudkan untuk melatih santri agar terbiasa dengan amalan sunah yang sangat dianjurkan sehingga bisa terbawa kebiasaan tersebut sampai dirumah.


4.    Setiap selesai jama’ah sholat maghrib, semua santri melaksanakan tadarus al Qur’an.


5.    Kamis malam jum’at semua santri membaca surat Yasin, Tahlil dan diba’iyah, juga melaksanakan muhadhoroh sebagai sarana lahitah pidato.


6.    Minggu siang pengajian kitab Al-Hikam. Dimana Pengajian kitab Al Hikam inidiberikan langsung oleh Kyai atau Pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo, yang peserta dari pengajian tersebut tidak hanya berasal dari santri saja akan tetapi dari pengamal wahidiyah yang datang dari berbagai daerah, seperti : Kediri, Tulug Agung, Nganjuk, Blitar, Jombang, Surabaya, bahkan dari Jawa tengah, Jawa Barat ataupun dari luar Jawa.


B.    Bidang Pendidikan


Sekian lama pesantren dipandang sebagai lembaga eksklusif, sampai akhirnya mengalami perubahan yang sangat terbuka dan menggembirakan. Kini saatnya orang berfikir bahwa sekolah an sich tidak mungkin dapat diandalkan untuk mendidik manusia secara utuh. Banyak yang mengeluh bahwa akhlak dan perilaku pelajar dewasa ini cenderung merosot dengan berbagai bentuk tindakannya yang merisaukan banyak pihak. Karena itu, patut dipikirkan kemungkinan “pesantren masuk sekolah” sesudah “sekolah masuk pesantren”. Jika pesantren sudah bersedia menerima sekolah, mungkinkah sebagaimana sedang diperlihatkan oleh beberapa sekolah tertentu . Misalnya saja pondok pesantren Kedunglo ini. Di dalam pondok pesantren Kedunglo ini terdapat pendidikan umum. Akan tetapi pendidikan yang bersifat tradisional tetap diberikan.


Dalam kurun waktu yang panjang, pesantren mengkonsumsi Kitab Kuning sebagai pedoman berfikir dan bertingkah laku. Ia telah menjadi bagian intern dalam pesantren. Menurut masyarakat pesantren, kitab Kuning merupakan formulasi final dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Sunah Nabi SAW .


Menurut bukunya Karel A. Steenbrink, bahwa pengajian kitab tradisonal terbagi menjadi dua, santri harus menyediakan waktu untuk studi bahasa Arab dan sesudah itu mulai mempelajari isi kitab-kitab agama yang merupakan unsur paling penting .


Begitu juga di dalam pondok pesantren Kedunglo yang memberikan studi bahasa Arab dan mempelajari kitab-kitab agama. Pendidikan agama di pondok pesantren kedunglo diberikan pada saat sekolah diniyah pada malam hari. Adapun pelajaran yang diberikan antara lain adalah : fiqh, ‘aqidah, nahwu, sharf, balaghah, dan masih banyak lagi.


Dunia pendidikan kita dewasa ini masih berada dalam taraf yang boleh dikata kritis. Oleh karena itu, seluruh kemampuan untuk membuka lembaga-lembaga pendidikan berupa sekolah harus digali terus menerus dari masyarakat, baik yang berasal dari pemerintah maupun non pemerintah. Untuk menggali kemungkinan mendirikan sekolah lebih banyak inilah antara lain dapat ditafsirkan salah satu tujuan pelaksanaan sebuah kurikulum mendirikan sekolah-sekolah baru dalam jumlah besar dapat ditempuh melalui ajakan serius pada pesantren untuk mendirikan sekolah umum di kalangan pesantren seperti : SD, SLTP, SMA dan Sekolah Tinggi dapat diserahkan pengelolaannya dari segi fisik dan material pada pesantren.


Berbagai upaya dilakukan dalam mengantisipasi keadaan krisis dan moral, upaya yang paling efektif adalah dengan proses sosialisasi melalui lembaga pendidikan formal.
Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo menyadari betapa keberadaan lembaga pendidikan sangat diperlukan untuk mencetak pejuang-pejuang handal dalam segala lapisan kehidupan yang bermoral dan beretika, berkepribadian tangguh serta mempunyai integritas yang tinggi didalam meneruskan Perjuangan Fafirruu Ilallah wa Rosulihi SAW.


Profil lembaga pendidikan Wahidiyah :
1.    Motto Pendidikan Wahidiyah, yaitu “Mencetak wali yang intelek, intelek yang wali” atau mencetak intelektual yang ulama’, ulama’ yang intelek.”
2.    Landasan Pendidikan Wahidiyah/islami.
3.    Konsepsi atau  Model Pendidikan Wahidiyah/islami.


Tujuan umum yang ingin dicapai oleh pendidikan Wahidiyah adalah wali yang intelek, intelek yang wali atau intelektual yang ulama’, ulama’ yang intelek. Dengan istilah umum, keluaran Pendidikan Wahidiyah adalah Insan berakhlakul karimah, berprestasi yang sekaligus terampil serta siap menjadi pejuang Fafirruu Ilallah wa Rosulihi SAW.
Proses pendidikan Wahidiyah menerapkan pola terpadu antara pendidikan umum dengan pendidikan pondok pesantren serta diberi bekal keprofesian agar lulusannya siap melakukan pengabdian di masyarakat.


Basis utama sebagai masukan calon siswa pendidikan Wahidiyah adalah seluruh keluarga pengamal shalawat wahidiyah yang tersebar diseluruh tanah air, bahkan telah merambat ke beberapa negera luar negeri.


Pendidikan Wahidiyah dalam perkembangannya, TK (berdiri tahun 1985), SD (berdiri tahun 1996), SLTP (berdiri tahun 1981), SMU (berdiri tahun 1981), STIE Wahidiyah (berdiri tahun 1998), STIS Wahidiyah (tahun 2002) yang pada akhirnya pada tahun 2010, Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo mendirikan sebuah universitas yang bernama UNIVERSITAS WAHIDIDIYAH yang kampusnya berada dilingkungan Pondok Pesantren Kedunglo al Munadhdharah Kediri. Perkembangan pendidikan diatas tidak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh pramu pendidikan Wahidiyah dibantu oleh staf pendidikan dalam kepanitiaan penerimaan siswa atau mahasiswa baru.


C.    Bidang Ekonomi


Dalam upaya meningkatkan ekonomi pondok pesantren Kedunglo, di Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah berdiri koperasi wahidiyah sebagai gerakan ekonomi rakyat (pengamal shalawat wahidiyah) atau sebagi peran serta dalam mewujudkan masyarakat yang sadar kepada Allah wa Rosulihi SAW, yang maju adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu koperasi wahidiyah perlu membangun dirinya agar menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip koperasi, sehingga mampu berperan menjadi soko guru perekonomian Nasional.


Kegiatan mujahadah kubro yang dilaksanakan dua kali setahun, yaitu bulan muharram dan rajab, ternyata bisa membangkitkan perekonomian rakyat, terutama di Ds. Bandar Lor, Kediri. 


Kegiatan yang dilaksanakan selama empat hari empat malam dan diikuti oleh ratusan ribu pengamal wahidiyah dari segala penjuru ini telah membangkitkan perekonomian warga sekitar. Mulai dari jasa parkir, tidak kurang dari 1.500-an kendaraan yang parkir saat acara ini berlangsung, jasa MCK, warung makan, penginapan dan lain sebagainya.


D.    Bidang Sosial 

 
Dalam bidang sosial ini Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo menitik beratkan pada bidang penyiaran shalawat wahidiyah yang sangat dibutuhkan oleh umat masyarakat pada saat ini .


Penyiaran Shalawat wahidiyah ini dilakukan melalui beberapa cara, seperti dengan mengadakan mujahadah usbu’iyah, mujahadah syahriah, rubu’ussanah, mujahadah. Pondok Pesantren Kedunglo juga mengadakan kegiatan lomba-lomba yang bernuansakan wahidiyah/islami yang dapat diikuti juga oleh masyarakat non wahidiyah, pembinaan-pembinaan da’i-da’iyah wahidiyah seperti up-grade, training dan masih banyak lagi .


selanjutnya :
Masa Perkembangan Wahidiyah pada tahun 1990an

PONDOK PESANTREN KEDUNGLO KEDIRI – JAWA TIMUR - DAN SHALAWAT WAHIDIYAH (Part. 1)


 Oleh : Muhammad Arif

BERDIRINYA PONDOK PESANTREN 
KEDUNGLO AL MUNADHDHARAH - KEDIRI


Letak Geografis
Pondok pesantren Kedunglo al Munadhdhoroh terletak di Desa Bandar Lor Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur. Desa Bandar Lor berada di pinggiran sungai brantas sebelah barat dan berada + 1 km dari pusat kota Kediri. 

Sesuai dengan data monografi desa Bandar Lor pda tahun 2002, luas desa ini + 111,35 Ha dengan perincian sebagai berikut : pemukiman atau perumahan seluas + 87,50 Ha, sawah dan ladang 9 Ha, jalan seluas 4,5 Ha, jalur hijau seluas 2 Ha, pemakaman seluas 1,5 Ha dan lain-lain 1,3 Ha.

Adapun batas-batas desa Bandar Lor yang menjadi letak Pondok pesantren Kedunglo al Munadhdhoroh adalah :
1.    Sebelah utara desa Mojoroto
2.    Sebelah barat desa Lirboyo
3.    Sebelah selatan desa Bandar Kidul
4.    Sebelah Timur sungai brantas

Pada tahun 2002 jumlah penduduk desa Bandar Lor berjumlah 8.593 jiwa dengan rincian sebagai berikut :
1.    Penduduk laki-laki berjumlah 4.074 orang dengan rincian 4.073 WNI dan 1 WNA
2.    Penduduk perempuan berjumlah 4.519 orang dengan rincian 4.516 WNI dan 3 WNA
Mereka menyebar di 39 RT dan 8 RW, Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadzdzarah berada di RT. 17 RW.03.

Sejarah Berdirinya Pondok
1.    Latar Belakang Berdirinya Pondok
Pada akhir tahun 1800-an hingga tahun 1900 banyak oran g islam indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang islam yaitu dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan islam mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan .

Salah seorang yang menyadari perlunya perubahan-perubahan tersebut adalah KH. Mohammad Ma'roef. Lalu ia mendirikan sebuah pondok yang bernama “Kedunglo” yang terletak di desa Bandar Lor kecamatan Mojoroto Kediri. KH. Mohammad Ma'roef mendirikan pondok pesantren ini karena melihat semakin berkembangnya masyarakat pada masa penjajahan kolonialisme yang pembinaannya telah didahului oleh ulama-ulama besar di jamannya.

Di kota Kediri, pada awalnya sudah mengenal agama secara luas, termasuk agama islam. Namun pada penerapan ajarannya perlu ditata lagi, karena mereka belum sepenuhnya menerapkan syari’at islam, akan tetapi pada prakteknya masih dicampur dengan adat istiadat yang bertentangan dengan syari’at islam.
KH. Mohammad Ma'roef, puta dari K. Abdul Madjid pendiri pondok pesantren Klampok Arum desa Badal Ngadiluwih kab. kediri ini juga alumni pondok pesantren. Sebagai penerus dari perjuangan ayahnya, ia lantas ingin mendirikan sebuah pondok pesantren, sebagai sarana untuk mewujudkan masyarakat yang religius, masyarakat yang berbudi pekerti dan berakhlak.

Sepulang dari belajar di Makkah al Mukarramah selama + tujuh tahun, KH. Mohammad Ma'roef tampak semakin alim dan waskita . Oleh karena itu, KH. Mohammad Ma'roef disuruh oleh mertuanya - K. Shaleh , Banjarmlati Mojoroto - untuk mencari tanah yang akan dijadikan pondok pesantren .

KH. Mohammad Ma'roef tidak menyia-nyiakan hal tersebut, dia lantas tirakat sambil mengamalkan shalawat nariyah sebanyak 4.444 kali per hari. Akhirnya dia mendapat petunjuk atau hidayah dari Allah swt. bahwa tanah yang cocok untuk dijadikan pondok olehnya adalah tanah yang berada di sebelah barat sungai brantas diantara dua jembatan.
Petunjuk yang diperoleh KH. Mohammad Ma'roef lalu dihaturkan kepada mertuanya, akan tetapi mertuanya, K. Shaleh, dan beberapa orang kerabat dan teman mengecam atau tidak setuju dengan tanah pilihan KH. Mohammad Ma'roef. Hal ini disebabkan karena tanah tersebut dikenal sebagai bumi supit urang, yaitu tanah yang berwujud rawa / perairan semacam danau dan tidak berupa daratan. Namun KH. Mohammad Ma'roef tetap pada pendiriannya memilih tanah tersebut sambil mengemukakan beberapa alasan. Alasan tersebut adalah bahwa KH. Mohammad Ma'roef yakin bahwa pondok yang akan didirikannya suatu saat nanti akan memiliki keistimewaan. Yang pertama, dekat dengan pasar (pasar Bandar, utara lokasi pondok), kedua, dekat dengan sungai, ketiga, dekat dengan pusat kota. Akhirnya alasan tersebut diterima dan jadilah tanah tersebut dibeli.
Setelah tanah dibeli, pada 1800-an KH. Mohammad Ma'roef mendirikan sebuah pondok pesantren. Pondok tersebut kemudian diberi nama “Kedunglo”. Nama ini diambil dari kondisi pondok tersebut dibangun, yaitu pondok didirikan diarea kedung (semacam danau) dan disana tumbuh pohon Lo yang besar .

Karena di lokasi pondok yang pertama sering terjadi banjir sehingga menggenangi sekitar lokasi pondok, maka pada tahun 1901 lokasi pondok pesantren Kedunglo di pindahkan keselatan + 100 m dari lokasi semula. Maka dibangunlah masjid dan pondokan untuk santri, yang mana masjid dan pondokan yang dibangun KH. Mohammad Ma'roef sampai sekarang masih berdiri kokoh dan belum di ganti (pugar).

Setelah KH. Mohammad Ma'roef tinggal di pondok Kedunglo, maka berduyun-duyunlah para santri yang ingin menimba ilmu kepadanya. Namun karena dia kurang suka memiliki banyak santri, maka sebagian santrinya diserahkan kepada K. Abdul Karim , pendiri PP. HM. Lirboyo, yang saat itu santrinya masih beberapa orang saja.

Ketika ditanya mengapa KH. Mohammad Ma'roef tidak suka mempunyai banyak santri ? dia hanya menjawab : “Aku tidak mau memelihara banyak santri. Disamping repot kalau punya banyak santri, pondok ini jadi kotor. Karena itu saya mohon kepada Allah agar santri saya tidak lebih dari empat puluh orang saja. Kalau lebih dari empat puluh nanti ada yang nakal akhirnya pondok ini jadi rusuh”. Memang benar, santri KH. Mohammad Ma'roef tidak pernah lebih dari empat puluh orang. Kalau lebih pasti ada yang pulang.

Selain sebagai pengasuh pondok, KH. Mohammad Ma'roef juga sebagai guru tunggal, tidak ada guru / ustadz selain dia. Karena santri-santrinya ditangani sendiri, maka tak heran bila sepulang dari mondok di Kedunglo para santrinya menjadi orang yang alim dan ampuh. Diantara santrinya yang menjadi orang besar adalah K. Dalhar Watu Congol Magelang jawa Tengah, K. Manab Lirboyo Kediri Jawa Timur (konon meski sudah memiliki banyak santri, K. Manab masih mengaji ke Kedunglo), K. Musyafa’ Kaliwungu Kendal Jawa Tengah, K. Dimyathi Tremas, K. Musthafa Bisri Rembang Jawa Tengah, K. Mubasyir Mundir kediri, K. Marzuki Solo, dan para kyai yang ada di Kediri (pada masanya) yang pada umumnya pernah belajar /mengaji pada KH. Mohammad Ma'roef  .
KH. Mohammad Ma'roef menguasai berbagai macam disiplin ilmu, maka kitab-kitab yang diajarkan juga kitab-kitab yang tinggi. bahkan cara mengajarnya tidak sebagaimana ustadz-ustadz zaman sekarang. Untuk mengajar syarah al Fiyah saja diamping menerangkan syarahnya, dia juga membahas ‘arudnya (balaghahnya), maka satu mata pelajaran yang dibahas sudah meluas ke mata pelajaran yang lain .

Setelah + 56 tahun memimpin pondok pesantren Kedunglo, pada hari Rabu Wage ba’da Maghrib Bulan Muharram 1375 / th 1955 KH. Mohammad Ma'roef berpulang ke rahmatullah, pucuk pimpinan pondok pesantren Kedunglo digantikan kepada putra beliau yang bernama KH. Abdul Madjid Ma'roef.

Pada masa awal kepemimpinan KH. Abdul Madjid Ma'roef keadaan pondok masih seperti pada masa KH. Mohammad Ma'roef, yaitu belum begitu banyak santri yang mondok. Bahkan madrasah secara formalpun belum terbentuk. Baru sekitar tahun 1970-an madrasah pondok baru berdiri.

2.    Dasar dan Tujuan Pondok Pesantren
Yang dijadikan dasar oleh pondok pesantren Kedunglo sebagai lembaga pendidikan islam sama seperti pondok-pondok lain, yaitu melaksanakan tugas penyiaran dan pembinaan ajaran islam serta mengembangkannya serta mewarnai masyarakat dengan warna yang islami. Artinya bahwa pondok pesantren membina akhlak, tingkah laku dan perbuatan yang dilaksanakan masyarakat berdasarkan pada ajaran islam sehingga terciptalah masyarakat yang yang islami.

Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan umat dan pengembangan agama islam. Dengan memperhatikan masyarakat Indonesia dewasa ini, maka santri pondok pesantren Kedunglo diharapkan dapat dan mampu :
  1. Memiliki wawasan keagamaan yang luas serta pandangan yang kritis terhadap jalannya pembangunan baik mental maupun spiritual.
  2. Mampu mengkontekstualisasikan ajaran islam kepada umat masyarakat.
  3. Menciptakaan struktur kemasyarakatan yang lebih profesional dan madani melalui ajaran islam.

Konsep madani bagi orang arab mengacu pada hal-hal yang ideal, yakni mengacu pada kehidupan Rasul pada periode Madinah dengan pesona keberhasilan Rasul membangun dan membina masyarakat yang plural, demokratis, damai, saling menghormati dengan landasan hukum hak dan tanggung jawab bersama. Kata madani juga ideal dalam kontek sosiologis dunia Arab, dimana kota selalu menjanjikan peradaban yang lebih makmur .
Tindakan-tindakan sebagaimana tersebut diatas akan menjadi kepribadian yang khas dari pondok pesantren Kedunglo. Hal ini bisa dirasakan dari usaha pembinaan santri dalam pembiasaan dan pengertian yang nantinya akan menghasilkan kader-kader yang militan untuk ikut serta membangun umat masyarakat secara kaffah.

3.    Tokoh Pendiri Pondok Pesantren 
       KH. Muhammad Ma’ruf
Tokoh pendiri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadhdharah adalah KH. Mohammad Ma'roef. Dia lahir di dusun Klampok Arum desa Badal kecamatan Ngadiluwih kab. Kediri pada tahun 1852. KH. Mohammad Ma'roef berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah K. Abdul Madjid, dia pendiri pondok pesantren Klampok Arum sebelah selatan Masjid Badal dan seorang yang sangat disegani dan ditokohkan didaerahnya.

Konon K. Abdul Madjid, ayah KH. Mohammad Ma'roef, mempunyai kebiasaan tirakat dengan hanya makan kunyit saja. Menurut penuturan KH. Mohammad Ma'roef kepada santrinya, K. Abdul Madjid mempunyai kesabaran yang luar biasa. Sehingga sang istri yang ingin tahu kemarahan sang suami membuatkan sayur tom, sayur yang rasanya sangat pahit, kemudian dihidangkan kepada K. Abdul Madjid. Akan tetapi dengan lahapnya, seolah tidak merasakan pahit, K. Madjid menghabiskan sayur yang telah dihidangkan istrinya. Malah ia tersenyum sembari berkata : “segar sekali sayur buatanmu ini, besuk buatkan sayur seperti ini lagi, ya!”. Pintanya kepada istrinya.

KH. Mohammad Ma'roef adalah putra kesembilan dari sepuluh bersaudara, tiga perempuan dan tujuh laki-laki. Suadara-saudaranya itu adalah : Nyai Bul kijah, KH. Muhajir, K. Ikrom, K. Rahmat, K. Abdul Alim, K. Jamal, Nyai Muttaqin, K. Abdullah, KH. Mohammad Ma'roef, dan Nyai Suratun.

KH. Mohammad Ma'roef tidak lama merasakan kasih sayang ibunya, sebab ibunya wafat ketika dia masih kecil. Akan tetapi dia masih merasakan kasih sayang sang ayah dan saudara-saudaranya. Namun, tak lama kemudian ayahnya menyusul ibunya dipanggil sang khaliq, Allah swt. Setelah itu KH. Mohammad Ma'roef diasuh oleh kakak sulungnya, Nyai Bul Kijah.

Karena kondisi ekonomi Nyai Bul Kijah pas-pasan, maka ketika diusia sekolah, Mohammad Ma'roef belum masuk sekolah. Dia hanya belajar mengaji al Qur’an yang diajari oleh Nyai Bul Kijah, sang kakak. Itupun Nyai bul Kijah sering mengeluh, ini dikarenakan Mohammad Ma'roef kecil sangat bodoh. Apa yang diajarkan kakaknya seakan tidak ada yang diterimanya. Akhirnya Nyai Bul Kijah menyuruhnya untuk puasa senin-kamis.
Tidak lama setelah melaksanakan puasa senin-kamis, Mohammad Ma'roef bermimpi ada seekor ikan emas meloncat masuk ke dalam mulutnya. Mimpi ini diartikan bahwa Mohammad Ma'roef mendapatkan tanda-tanda adri Allah bahwa dia mendapatkan suatu ilmu. 

Suatu ketika Mohammad Ma'roef dimarahi oleh Nyai Bul Kijah dan dipukul dengan ulek-ulek, alat untuk menggerus sambal, oleh Nyai Bul Kijah lalu dia ngambek dan menyusul kakak-kakaknya yang terlebih dulu sudah berada di pondok dengan berjalan kaki, pondok pesantren di desa Cepoko kec. Berbek Kab. Nganjuk.

Di pondok tersebut, Mohammad Ma'roef hanya makan seminggu sekali, itupun pemberian warga sekitar yang setiap malam jum’at mengirim makanan ke pondok. Pada hari-hari biasa , jika lapar ia hanya makan intip   yang masih melekat dipanci dan tak dimakan oleh pemiliknya atau memakan buah pace yang pohonnya dia tanam sendiri dilingkungan pondok.

Kondisi yang memperihatinkan selama nyantri tersebut membuat Mohammad Ma'roef mempunyai kebiasaan puasa dan munajat kepada Allah, sehingga suatu ketika Allah menganugerahkan ilmu laduni  kepadanya. 

Akan tetapi untuk mendapatkan ilmu laduni ini tidaklah mudah. KH. Mohammad Ma'roef muda harus benar-benar tirakat serta riyadhah dengan waktu yang cukup lama. Ilmu laduni yang diberikan Allah kepada KH. Mohammad Ma'roef itu dibidang : Ilmu Fiqh, yaitu bermula dari mimpi yang mengajar kitab kuning di pondok. Setelah kejadian tersebut dia yang sudah mondok selama tujuh tahun dan baru kelas satu Tsanawiyah tiba-tiba bisa membaca kitab kuning. Kemudian ia sowan kepada K. Muh, pengasuh pondok, menceritakan yang telah dialaminya. Kemudian K. Muh mengumumkan kepada seluruh santri kalau besok dia tidak mengajar dan akan digantikan oleh Ma'ruf dari Kediri.

Mendengar pengumuman dari sang kiyai, teman-teman mondok M. Ma'ruf banyak yang mentertawainya bahkan mengejek. “Orang tidak bisa ngaji kok disuruh mengajar, apalagi menggantikan kyai. Apa dia bisa ?”. Namun benar saja, Muhammad Ma'ruf bisa mengajar bahkan ia hafal isi kitab milik gurunya, sehingga berita ini menggemparkan seluruh isi pondok. Muhammad Ma'roef yang dulunya bodoh, tidak bisa mengaji, diremehkan bahkan dibenci oleh teman-temannya tiba-tiba menjadi orang yang ‘alim, seketika itu juga mereka (teman-teman Mohammad Ma'roef) segan dan menghomati Mohammad Ma'roef. Bahkan, menurut cerita, K. Muh sendiri ikut berguru / mengaji kepada Mohammad Ma'roef.

Beberapa lama setelah kejadian itu, Mohammad Ma'roef melanjutkan perburuan mencari ilmu ke Semarang pada K. Shalih. Genap dua tahun mondok pada K. Shalih di Semarang dia pindah ke pondok Langitan Tuban. Setelah setahun belajar di pondok Langitan Tuban, dia pulang ke Kediri. Tak lama berselang, dalam usia 30 tahun, dia diambil menantu oleh K. Shalih dari Banjarmlati Kediri untuk putri sulungnya yang bernama Hasanah. + Dua tahun menikah puta pertama Mohammad Ma'roef dan Ny. Hasanah lahir, namun begitu rasa hausnya akan ilmu membuat dia harus meninggalkan keluarganya untuk menimba ilmu pada K. Khalil Bangkalan Madura yang termasyhur sebagai waliyullah.

Setibanya di pondok K. Khalil Bangkalan dia disambut langsung oleh sang tuan rumah : “ Hai, anak jawa tampaknya kamu lapar, ini saya beri makan, harus dihabiskan”. Kata K. Khalil sambil menyerahkan senampan besar nasi dengan lauk ikan bandeng sebesar betis. “Ya, Kiyai”, jawab Mohammad Ma'roef. Diapun mulai menyantap nasi dan lauk yang dihidangkan tersebut dengan niat menyerap ilmunya K. Khalil.

Selama Mohammad Ma'roef makan, K. Khalil terus mengawasinya dengan berdiri disampingnya. Tangan K. Khalil membawa tongkat yang siap dipukulkan apabila Mohammad Ma'roef tidak mampu menghabiskan makanan tersebut.

Bagi Mohammad Ma'roef yang terbiasa dengan puasa dan berlapar-lapar, menghabiskan makanan yang sebegitu banyak tentu saja tidak akan mudah. Namun karena didorong niat yang kuat untuk menyerap ilmunya sang kiyai, diapun lantas berdo’a kepada Allah agar bisa menghabiskan makanan tersebut. Konon, do’a Mohammad Ma'roef ini bila di baca, maka seberapa banyak makanan yang dimakan, perut tidak akan merasa penuh dan makanan akan tetap bisa masuk ke perut. Dan benar saja, makanan yang dihidangkan K. Khalil habis dimakan Mohammad Ma'roef sendirian.

Selama nyantri pada K. Khalil, KH. Mohammad Ma'roef muda tetap pada kegemarannya untuk senantiasa riyadhoh, bahkan semakin menjadi-jadi. Dan riyadhoh seolah sudah mendarah daging dengan Mohammad Ma'roef. Selama itu pula ia mempunyai kebiasaan berziarah ke makam-makam keramat auliya se- Madura. Di makam-makam tersebut dia bukan hanya berziarah, tapi juga tirakat. Apabila dia belum bertemu dengan wali yang dimakamkan di situ, dia belum mau pergi. Sehingga dia dapat langsung berdialog dengan wali yang sedang diziarahi. Tujuan riyadhohnya adalah ingin mempunyai ilmu laduni.

Terakhir dia riyadhoh di makam yang berada di Bujuk Sangkak, disini dia bertemu dengan yang diziarahi dan berkata : “Hai, anak muda, mengapa kamu tirakat disini, apa yang kamu cari ?”. “Saya santri K. Khalil Bangkalan, ingin jadi orang alim. Do’akan saya agar mendapatkan ilmu laduni”, jawab Mohammad Ma'roef. Penghuni makam tersebut menjawab : “Kamu bisa mendapatkan ilmu laduni, tapi tirakatmu masih kurang”.
Mendengar jawaban itu, Mohammad Ma'roef langsung menangis sedih. Setengah putus asa, kemudian dia kembali ke pondok sambuil terus menangis. Mengetahui hal itu, K. Khalil langsung menegur santinya itu : “Ma'roef sudah berminggu-minggu kamu tidak berada di pondok, pergi kemana kamu ?”. Ma'rufpun menceritakan apa yang dialaminya dan berkata kalau riyadhahnya masih kurang.

“Ada satu makam lagi yang belum kamu datangi, yakni makam Kyai Abu Syamsudin di Batu Ampar. Dia seorang wali besar. Semalam saya bertemu Kyai Abu Syamsudin, dia menyuruh saya menulis dikuburannya, siapa yang bisa menghatamkan Al-Qur’an sekali duduk, apapun keinginannya akan terkabul”. Kata K. Khalil. Mendengar hal itu, Mohammad Ma'roef langsung berangkat ke Batu Ampar dan menghatamkan Al-Qur’an sekali duduk mulai Shubuh sampai Ashar.

Selesai menghatamkan Al-Qur’an, seketika datang angin lesus menerjang tubuh Mohammad  Ma'roef. Perasaannya saat itu, seakan dia ditumpahi nasi kuning hingga dia muntah berak. Ditumpahi nasi kuning ini diartikan bahwa Mohammad Ma'roef diberi ilmu oleh Allah berkah riyadhahnya di makam K. Abu Syamsudin.

Sepulang riyadhah di makam K. Abu Syamsudin, segala kitab yang ada di pondok K. Khalil dikuasainya. Maka tercapailah sudah keinginan Mohammad  Ma'roef untuk mendapatkan ilmu laduni tersebut.

Diantara teman belajar KH. Mohammad Ma'roef’ saat pada K. Khalil Bangkalan adalah KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), KH. Abdul Karim Manaf (Pendiri PP. HM. Lirboyo – saudara ipar KH. Mohammad Ma'roef’).

Suatu hari Mohammad Ma'roef dipanggil K. Khalil, “Ma'roef, saya akan pergi haji. Pondok ini saya serahkan kepadamu.” Diserahi pondok bukannya malah senang, dia malah masygul dan susah sekali. “Kyai, saya kesini pengen ngaji kok mau ditinggal. Saya mau ikut panjenengan naik haji saja, kyai.” Apa boleh buat, akhirnya K. Khalil mengabulkan permintaan murid kesayangannya.

Selesai mengikuti gurunya menyempurnakan rukun Islam yang kelima, H. Mohammad Ma'roef menetap di Makkah untuk melanjutkan studi dan membuat rumah di sana. Kepada santrinya KH. Mohammad Ma'roef tidak pernah menceritakan siapa saja yang menjadi gurunya selama belajar di Makkah. Namun karena dia di sana antara tahun 1887 – 1894, dapat diduga bahwa gurunya antara lain : Syekh Nawawi Al Bantani dari Banten, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dari Minangkabau, Syekh Makhfud dari Tremas Pacitan, Syekh Abas Al Yamani, Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti Madzhab Syafi’I di Makah35. Sepulang dari Makkah H. Mohammad Ma'roef mendirikan pondok yang diberi nama pondok pesantren Kedunglo.

Pada tahun 1926, KH. Mohammad Ma'roef menerjunkan diri dalam organisasi kemasyarakatan. Hal ini karena diajak oleh sahabatnya yakni KH. Mohammad Hasyim Asy’ari yang pada waktu itu akan mendirikan Persatuan Nahdhatul Ulama (NU). Saat pendirian NU, KH. Mohammad Ma'roef duduk di Mustasyar NU. Sebagai penasihat di NU, dia kerap menghadiri muktamar-muktamar NU yang diadakan di daerah-daerah. Karena dia sudah terkenal makbul do’anya, maka dia sering didaulat untuk memimpin do’a. Biasanya, jika para ulama NU mengadakan Bahsul  Masail dan menemui jalan buntu, maka jalan keluarnya adalah mereka sowan pada KH. Mohammad Ma'roef untuk meminta petunjuk.
Dalam hal ini KH. Mohammad Ma'roef’ menunjukkan kelas dan kekharismatikannya. Dengan hanya mengatakan : “masalah itu ada di kitab anu……”. Tanpa menjelaskan detail masalahnya. Dia memberi petunjuk tentang penyelesaian dari masalah tersebut.

 Sumbangsih KH. Mohammad Ma'roef kepada negara di zaman perjuangan mengusir penjajah  amatlah besar. Hal ini ditunjukkan saat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, bersama Mayor Hizbullah Mahfud dan Kyai Hamzah yang juga turut ke medan pertempuran. Dia juga memberi bekal kepada para prajurit yang akan turun ke medan laga dengan do’a-do’anya dengan harapan tidak terlihar oleh musuh dan kebal senjata.

Pada hari-hari terakhir menjelang wafatnya, KH. Mohammad Ma'roef yang memiliki do’a-do’a ampuh untuk segala macam urusan ditulis keseluruhannya di papan tulis. Kemudian dia menyuruh santrinya untuk menulis do’a-do’a yang disukai. Dengan senang hati para santri segera menulis do’a-do’a tersebut lalu disowankan kepada gurunya. Do’a-do’a pilihan yang sudah ditulis di kertas itu oleh KH. Mohammad Ma'roef hanya ditiup saja.

KH. Mohammad Ma'roef juga sering berwasiat kepada para tamu yang sowan dan minta petunjuk, agar mengamalkan sholawat saja. Lebih jelas dia mengatakan kalau di Kedunglo nanti akan lahir sholawat bagus.

Wasiat serupa juga disampaikan kepada mbah Khomsah familinya saat minta restu akan mengikuti bai’at thariqah yang dihadiri oleh K. Romli dari Nganjuk. Dia berkata, “Sah, jangan ikut bai’at Thariqah, Thariqah itu berat. Untuk orang yang punya uang tidak kuat. Sepeninggalku nanti, di Kedunglo akan ada sholawat yang baik, tunggulah kamu akan menjumpai sholawat itu. “ Terbukti, tujuh tahun setelah KH. Mohammad Ma'roef wafat shalawat yang dinantikan yakni sholawat Wahidiyah lahir.

Pada detik-detik menjelang wafatnya, KH. Mohammad Ma'roef yang berusia 103 tahun tidak kuat naik ke mesjid, dia tidak biasanya menyuruh murid-muridnya yang dari Mojo (K. Makhsun, K. Ruba’i, K. Mahfud dan K. Mukhsin) agar mengajar anak-anak kecil pakai papan tulis. Padahal jangankan mengajar mau sekolah saja empat sekawan tersebut oleh Mbah  Ma'roef tidak diperkenankan.

Dalam kepayahannya karena sakit, dia masih memikirkan pembangunan pondoknya dengan menyuruh santrinya, Makhsun dan Siyabudin mencari uang untuk membangun pondok. Mereka pun pergi ke Surabaya, Gresik dan Malang melaksanakan perintah gurunya, KH. Mohammad Ma'roef

Kelihatan sekali kalau Sang pendiri pondok pesantren Kedunglo sangat dermawan. Meski ajal akan menjemput, dia masih juga berfikir untuk bershadaqah. Dengan tangan lemas lunglai dia membuka-buka kasur dan bantal mencari-cari uangnya. Nyahi Romlah sang putri melihat kelakuan aneh ayahnya sampai menegur, “Pak, sakit-sakit kok mencari uang buat apa?”. “Kamu ini bagaimana, ya buat shadaqah.” Jawab KH. Mohammad Ma'roef’.

Akhirnya, pada hari Rabu Wage ba’da Maghrib di bulan Muharrom tahun 1373 H / 1955 M KH. Mohammad Ma'roef menghembuskan nafasnya yang terakhir menghadap kehadirat Allah SWT dengan tenang. Sebagai penerusnya untuk mengasuh Pondok Pesantren Kedunglo adalah KH. Abdul Madjid Ma'ruf.

selanjutnya :
4.    Kisah sekilas, KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs. wa Ra.

SEJARAH PERKEMBANGAN WAHIDIYAH DI TAHUN 1990-AN

Lanjutan dari : Masa Perkembangan Ponpes. Kedunglo Al Munadhdharah Kediri Jawa Timur


WAHIDIYAH PERNAH MELALUI UJIAN YANG CUKUP BERAT....

Maaf sebelum anda meneruskan membaca ini, saya jelaskan bahwa yang terjadi adalah FAKTA. Saya tidak mengada-ada, hanya menyampaikan dari berbagai sumber yang pernah saya tanya dan apa yang pernah saya alami dan tau sendiri.

Perjuangan Wahidiyah banyak mengalami cobaan, baik ketika baru lahir maupun ketika beranjak dewasa. Cobaan atau ujian itu datangnya bukan hanya dari luar pengamal wahidiyah, akan tetapi yang besar dirasakan justru datang dari pengamal wahidiyah sendiri bahkan dari mereka yang ikut membesarkan wahidiyah.

Perpecahan pengamal wahidiyah yang terjadi sejak ditinggalkan oleh mualifnya justru membuat wahidiyah yang baru berusia remaja semakin mantap menatapkan kakinya.

Seperti kita ketahui, para tokoh wahidiyah yang ikut berjuang 'membesarkan wahidiyah' pada masa mualif shalawat wahidiyah, karena ketidaksukaan mereka terhadap kepemimpinan al Mukarram Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Ra. yang secara sah telah dipilih oleh mbah KH. Abdul Madjid Ma'ruf Qs wa Ra. sebagai penerusnya bahkan dikuatkan oleh keputusan keluarga beliau sebelum dilaksanakannya pemakaman mualif shalawat wahidiyah, secara nyata dan meyakinkan telah "BERKHIANAT" kepada perjuangan wahidiyah dan mualif shalawat wahidiyah.

Bahkan pada waktu itu, secara resmi mereka menyatakan diri keluar dari keorganisasian wahidiyah. Tetapi anehnya, mereka menyatakan diri sebagai pengurus PSW yang sah, jadi sebutan apa yang pantas diberikan pada mereka?!. Allahu a'lam.

Sekelumit kisah pada tulisan ini mudah-mudahan membawa manfaat pada diri kita terutama pada kita yang belum mengetahui cerita yang terjadi dengan sebenar-benarnya.

Kami mohon maaf karena kisah ini kami belum kami sajikan secara lengkap, kami mohon do'a pembaca agar secepatnya dapat melengkapinya. Amiin.


Selanjutnya...
KH. ABDUL LATIF MADJID RA. DIRESMIKAN MENJADI PEMIMPIN PERJUANGAN WAHIDIYAH bisa anda baca disini


Juga bisa dibaca tulisan terkait wahidiyah di disini  dan atau bisa share dan membaca artikel lain, clik disini